Nationalgeographic.co.id—Hüssen, peneliti di Institut Arkeologi Jerman, menyeberangi jalan dan mengarungi semak-semak yang lebat. Pada jarak lima puluh meter dari jalan, dia nyaris menabrak timbunan tanah kotor setinggi satu meter dan sepanjang enam meter. Timbunan tanah yang bercampur bebatuan putih pipih itu tampak lurus secara tidak alami di sepanjang lantai hutan.
Hampir 2.000 tahun yang lalu, dinding ini adalah batas yang memisahkan Kekaisaran Romawi dan kawasan lain di dunia. Di Jerman, gundukan rendah itu sajalah yang tersisa dari dinding yang dulu pernah berdiri setinggi tiga meter dan sepanjang ratusan kilometer.
Pastilah dinding itu merupakan pemandangan mengherankan di tengah alam liar yang terkucil, 1.000 kilometer di utara kota Romawi. “Dinding di sini diplester dan dicat,” kata Hüssen. “Semuanya berbentuk bujur sangkar dan ukurannya tepat. Orang-orang Romawi itu tahu persis bagaimana seharusnya membangun dinding ini.” Mahasiswa teknik yang mengukur bentangan dinding lainnya mendapati satu bagian sepanjang 50 kilometer yang hanya melengkung 92 sentimeter.
Hüssen menghadap ke utara, memunggungi Kekaisaran Romawi. Dua ratus meter dari situ, tidak jauh setelah melewati padang kecil, tampak bukit yang menjulang seperti dinding berwarna hijau. “Di sinilah batas itu,” katanya, “dan di balik itu tampak pemandangan indah yang masih belum terjamah tangan manusia.”
Rangkaian menakjubkan yang terdiri atas dinding, sungai, benteng gurun, dan menara jaga gunung menandai perbatasan Romawi. Pada masa keemasannya di abad kedua Masehi, Kekaisaran Romawi mengirimkan tentara untuk berpatroli di daerah perbatasan yang terentang dari Laut Irlandia hingga Laut Hitam, selain juga di seluruh Afrika Utara.
Tembok Hadrian di Inggris, yang mungkin merupakan segmen paling masyhur, terpilih menjadi situs Warisan Dunia UNESCO pada 1987. Tahun 2005, UNESCO menetapkan situs gabungan dengan perbatasan Jerman sepanjang 550 kilometer. Para pakar pelestarian berharap dapat menambahkan sejumlah situs di 16 negara lain. Upaya internasional mungkin dapat membantu menjawab pertanyaan yang kepelikannya mengherankan: Mengapa bangsa Romawi membangun dinding itu? Untuk melindungi pemerintah yang dikepung oleh kaum Barbar, atau semata untuk menegaskan kehebatan kekaisaran itu secara fisik?
Menetapkan dan mempertahankan perbatasan juga merupakan obsesi di zaman modern. Sebagaimana para politisi berdebat untuk membangun dinding antara Amerika Serikat dan Meksiko serta pasukan kedua negara Korea berhadapan di sepanjang daratan yang sarat ranjau, realitas yang dihadapi para kaisar Roma pun masih terus diperdebatkan.
DARI SEKITAR 500 SM, Romawi terus berkembang selama enam abad, mengalami transformasi dari sebuah negara-kota kecil di lingkungan yang keras menjadi kekaisaran terbesar sepanjang sejarah Eropa.
Kaisar Trajan mewarisi tradisi agresif ini dengan senang hati. Antara tahun 101 dan 117, dia berperang untuk menaklukkan wilayah yang di masa kini dikenal sebagai Rumania, Armenia, Iran, Irak, dan dengan kejam meredam pemberontakan bangsa Yahudi.
Saat dia mangkat tahun 117, wilayah kekuasaannya membentang dari Teluk Persia hingga Skotlandia. Dia mewariskan kekaisarannya kepada anak angkatnya—senator Spanyol berusia 41 tahun, Publius Aelius Hadrianus. Kaisar yang dikenal sebagai Hadrian ini dihadapkan pada wilayah yang begitu luas, sehingga sulit bagi Roma untuk mengendalikannya. Tekanan para politisi dan jenderal untuk mengikuti jejak ayah angkatnya pun membuatnya nyaris putus asa. “Keputusan pertama yang diambilnya adalah meninggalkan sejumlah provinsi baru dan memangkas anggaran pemeliharaannya,” kata penulis biografi, Anthony Birley. “Hadrian cukup bijaksana untuk menyadari bahwa pendahulunya telah melakukan hal-hal yang jauh melampaui kemampuannya.”
Kebijakan kaisar baru ini membuat citra Romawi terpuruk. Bagaimana mungkin kekaisaran yang ditakdirkan untuk memerintah dunia mengakui, sejumlah wilayah sulit dijangkau? Hadrian seakan-akan mengakui, hasrat Romawi yang menggebu-gebu telah padam. Provinsi yang paling berharga, seperti Gaul atau Spanyol, tanah asal Hadrian, memiliki banyak kota dan pertanian.
Namun, ada pertempuran yang tidak sepadan hasilnya. “Dengan memiliki bagian Bumi dan lautan yang terbaik,” demikian pengamatan Appian, seorang pengarang Yunani, bangsa Roma “bertekad untuk melestarikan kekaisaran dengan memerintah secara bijak dan hati-hati, bukan dengan meluaskan daerah kekuasaan secara tak terbatas dengan menaklukkan kaum barbar yang miskin dan tidak memberikan keuntungan.”
Rasa hormat pasukan tentara terhadap Hadrian ikut memuluskan kebijakan itu. Kaisar yang mantan tentara itu memelihara janggut ala militer, bahkan juga dalam potret resmi, dan ini untuk pertama kalinya dilakukan oleh seorang kaisar Romawi. Dia menghabiskan lebih dari separuh masa pemerintahannya yang berlangsung selama 21 tahun di sejumlah provinsi dan mengunjungi pasukannya di tiga benua. Ke mana pun Hadrian berkunjung, di situ didirikan dinding. “Dia menyampaikan pesan secara tersirat kepada para petinggi kekaisaran yang haus akan wilayah kekuasaan bahwa tidak akan ada lagi perang penaklukan wilayah,” ujar Birley.
Pada saat kaisar yang tidak bisa diam itu mangkat pada tahun 138, jaringan benteng dan jalan yang semula dimaksudkan untuk memasok legiun yang sedang maju berperang telah menjadi perbatasan yang membentang sepanjang ribuan kilometer. “Pasukan yang terlindung, seperti sebuah benteng, memagari dunia beradab dalam sebuah lingkaran, dari kawasan berpenduduk di Aetiopia hingga Phasis, dan dari Eufrat di bagian pedalaman hingga pulau besar terluar ke arah barat,” demikian diungkapkan seorang orator Yunani, Aelius Aristides, dengan bangga, tidak lama setelah Hadrian mangkat.
Di “pulau terluar” itu Hadrian membangun monumen yang mengabadikan namanya, sebuah benteng dari batu dan lapisan tanah yang membagi dua Inggris. Kini, Tembok Hadrian adalah salah satu bagian perbatasan Romawi yang paling baik pelestarian dan pendokumentasiannya. Sisa reruntuhan pembatas ini membentang sepanjang 118 kilometer.
!break!
Penelitian selama lebih dari satu abad membuat para ahli arkeologi memiliki pemahaman sangat baik tentang Tembok Hadrian. Dinding itu, yang mungkin dirancang sendiri oleh Hadrian dalam kunjungannya ke Inggris tahun 122, merupakan ungkapan sejati tentang upayanya untuk menentukan batas.
Di kebanyakan tempat, tembok batu itu tampil sangat mengesankan: setinggi 4,5 meter dan lebar tiga meter. Sisa-sisa parit sedalam tiga meter sepanjang tembok masih terlihat sampai sekarang. Beberapa pintu gerbang yang jaraknya teratur dilengkapi menara jaga setiap 500 meter.
Beberapa kilometer di balik tembok terdapat sederetan benteng berjarak sama satu sama lain yang dapat ditempuh pasukan selama setengah hari. Setiap benteng diawaki oleh 500-1.000 orang yang mampu bereaksi cepat menghadapi tiap serangan. Pada 1973, para pekerja menggali parit pembuangan di Vindolanda, benteng perbatasan yang biasa.
Mereka menemukan timbunan sisa-sisa barang peninggalan Romawi di bawah lapisan tebal tanah lempung. Lapisan basah itu menyimpan segala macam barang, mulai dari kayu bangunan berusia 1.900 tahun hingga kain, sisir kayu, sepatu kulit, dan kotoran anjing. Semuanya terawetkan oleh kondisi minim oksigen. Ketika menggali semakin dalam, para penggali menemukan ratusan tablet kayu rapuh sangat tipis yang dipenuhi tulisan. Tablet-tablet itu berisi keterangan tentang kehidupan sehari-hari di sepanjang Tembok Hadrian: perincian tugas, daftar nama petugas, permintaan peralatan, surat pribadi.
Para ilmuwan masa kini mengajukan pertanyaan penting yang mungkin terpikirkan juga oleh tentara Romawi. Sebenarnya, untuk apa mereka bertugas di situ? Ukuran dinding dan sistem pelengkapnya berupa parit, benteng, dan jalan menyiratkan bahwa musuh sangat ganas.
Namun, laporan dari Vindolanda nyaris tidak pernah berkisah tentang pasukan tentara yang depresi. Selain sedikit petunjuk di sana-sini—tak ada rujukan langsung tentang perang di perbatasan Inggris. Proyek pembangunan besar di utara pun bahkan tak disebut-sebut. “Kami merasa ada sesuatu yang besar yang sedang dibangun. Sejumlah besar perbekalan telah dipesan,” kata Andrew Birley, direktur penggalian di Vindolanda dan penulis biografi Hadrian, keponakan Anthony Birley. “Namun, mereka tidak merujuk ke tembok itu sendiri.”
Jika tembok itu tidak selalu berada dalam ancaman, lalu apa maksud pembangunannya? Sejak para kolektor benda antik Inggris mengorganisasi penggalian ilmiah pertama di sepanjang Tembok Hadrian pada 1890-an, para ahli sejarah dan ahli arkeologi berasumsi bahwa dinding Roma itu adalah benteng militer yang dirancang untuk melawan kaum Barbar dan para penyerbu yang ganas.
Para ahli arkeologi yang meneliti perbatasan ini pada 1970-an dan 1980-an belakangan mendapati bahwa Tirai Besi yang mencerai-beraikan Eropa itu memengaruhi pandangan mereka tentang masa lalu. “Di Jerman, terdapat batas yang kokoh, yang tampaknya sulit ditembus,” kata C. Sebastian Sommer, kepala ahli arkeologi di Bavarian State Preservation Office. “Gagasannya adalah memisahkan pihak sini dan sana, teman dan musuh.”
Kini, ahli arkeologi generasi baru memiliki pandangan berbeda. Tembok yang dramatis dan tak terputus itu mungkin merupakan sesuatu yang disengaja untuk menyesatkan. Dinding sepanjang 118 kilometer membuktikan kebijakan yang sebenarnya berbeda. Di Eropa, bangsa Romawi memanfaatkan rintangan alami berupa Sungai Rhine dan Sungai Danube, menjaga perairan mereka dengan pasukan angkatan laut yang kuat. Di Afrika Utara dan beberapa provinsi timur Suriah, Judea, dan Arab, gurun pasirlah yang menjadi perbatasan alami.
Sejumlah markas militer kerap merupakan instalasi yang dibentuk khusus. Markas itu dibangun untuk mengawasi sungai dan rute penting lainnya untuk mengirimkan perbekalan. Kata bahasa Latin untuk perbatasan, limes (dibaca li-mes), berarti jalan yang diawasi.
Pos jaga di sungai seperti di Rhine dan Danube atau di gurun di sisi timur dan selatan Roma sering kali mirip pos polisi atau pos patroli perbatasan. Semua pos itu pasti tak banyak gunanya jika berhadapan dengan pasukan penyerbu, tetapi sangat efektif untuk tentara yang bertugas menangkap para penyelundup, mengejar kelompok kecil bandit, atau mungkin mengutip biaya cukai. Tembok yang dijaga segelintir petugas di Inggris mirip dengan pos jaga di Jerman. “Di sana tembok itu memiliki tujuan praktis,” kata Benjamin Isaac, ahli sejarah dari Universitas Tel Aviv. “Tembok itu berfungsi seperti pagar kawat berduri di zaman modern—untuk mencegah masuknya orang atau kelompok kecil.”
Isaac berpendapat bahwa perbatasan itu mirip dengan instalasi modern tertentu, bukan benteng zaman pertengahan berdinding tebal: “Lihat saja tembok yang dibangun Israel untuk menghalangi Tepi Barat. Tembok itu tak dimaksudkan untuk menghalangi pasukan Iran, melainkan menghalangi orang melakukan bom bunuh diri di bus di Tel Aviv.” Menghalangi teroris bukan hal yang memotivasi bangsa Romawi dulu, tetapi banyak faktor lain—seperti sekarang. “Yang direncanakan Amerika Serikat antara negaranya dan Meksiko memang penting,” kata Isaac, “dan itu hanyalah untuk menghalangi orang yang ingin mencari pekerjaan kasar di New York.”
SELAMA BERABAD-ABAD para kaisar menggunakan ancaman, pencegahan, dan penyuapan langsung untuk mengamankan perdamaian. Romawi terus-menerus berunding dengan para kepala suku dan kerajaan di luar perbatasannya. Diplomasi menciptakan daerah penyangga para raja sekutu dan kepala suku yang setia untuk melindungi perbatasan dari suku yang kejam dan bertempat tinggal jauh.
Sekutu yang setia juga dianugerahi hadiah, senjata, serta bantuan dan pelatihan militer. Kaum Barbar yang ramah kadang bertugas untuk pasukan tentara Romawi; Vindolanda dihuni oleh unit-unit yang direkrut dari kawasan yang sekarang dikenal sebagai Spanyol, Prancis, Belgia, dan Belanda. Para pengayuh tongkang Irak pernah menyusuri sungai-sungai di Inggris di bawah bendera Romawi, dan para pemanah Suriah mengawasi pedesaan yang suram.
Perdagangan juga merupakan alat bantu kebijakan luar negeri: Komisi Romawi-Jerman di Frankfurt, bagian dari Institut Arkeologi Jerman, memiliki pangkalan data yang berisi lebih dari 10.000 artefak Romawi yang ditemukan di luar perbatasan. Senjata, koin, dan barang seperti gelas dan gerabah ditemukan hingga di Norwegia dan area Rusia masa kini. Kebijakan luar negeri Romawi tidak seluruhnya serba indah. Balas dendam juga merupakan taktik yang disukai.
Mereka menghabiskan waktu tujuh tahun untuk membalas kekalahan telak yang dialami pada tahun 9 di Jerman. Ahli sejarah Tacitus menjelaskan bahwa ketika menang di medan perang, Jenderal Germanicus “melepaskan tutup kepalanya dan meminta anak buahnya untuk melanjutkan pembantaian itu karena tak ingin ada tawanan, dan pembasmian seluruh negeri itu adalah satu-satunya tanda bahwa perang sudah berakhir.”
Hadrian juga menyerbu populasi yang menimbulkan masalah. Pada tahun 132, dia memadamkan pemberontakan kaum Yahudi dengan serangan kejam yang berkepanjangan. Salah seorang ahli sejarah Romawi mengatakan, serangan itu menewaskan setengah juta orang Yahudi. Ia menambahkan, “Sementara itu, jumlah yang musnah akibat kelaparan, penyakit, atau kebakaran, mustahil ditetapkan.” Nama provinsi diubah dari Judea menjadi Suriah-Palestina untuk menghapus semua sisa-sisa pemberontakan itu.
Kabar tentang kekejaman itu jelas membuat musuh Romawi berpikir dua kali sebelum melintasi garis perbatasan. “Pax Romana (Perdamaian Romawi) tidak dimenangi semata-mata setelah serangkaian pertempuran,” kata ahli arkeologi Ian Haynes dari Universitas Newcastle. “Pax itu ditegaskan berulang-ulang dengan cara yang kejam.”
Baca Juga: Lima Metode Eksekusi Mati yang Paling Mengerikan di Era Romawi
Baca Juga: Poena Cullei, Hukuman Mati dengan Karung yang Mengerikan di Era Romawi
Baca Juga: Seperti Apa Istana dan Taman Eksotis Kaisar Romawi Caligula?
Baca Juga: Fakta Vomitorium Romawi, Apakah Berfungsi sebagai Ruang untuk Muntah?
SEBAGAIMANA TEMBOK HADRIAN yang memperlihatkan perbatasan Romawi dari sisi terkuatnya, benteng yang ditelantarkan di Sungai Eufrat dengan tegas menangkap saat-saat perbatasan itu mulai runtuh. Dura-Europos adalah kota yang dibentengi di perbatasan antara Roma dan Persia, saingan beratnya. Dewasa ini, Dura berada sekitar 40 kilometer dari perbatasan Suriah-Irak, perjalanan delapan jam naik bus melalui gurun dari Damaskus.
Kota itu pertama kali muncul pada 1920, saat tentara Inggris yang berperang melawan gerilyawan Arab secara tak sengaja menemukan dinding berlukisan di sebuah kuil Romawi. Tim dari Yale University dan French Academy mengerahkan ratusan orang Badui untuk bekerja menggunakan sekop dan tusuk gigi. Mereka memindahkan puluhan ribu metrik ton pasir.
Penggalian gencar selama sepuluh tahun itu berhasil menyingkapkan kota Romawi abad ketiga. Sempalan plester masih menempel di batu bata dari lumpur dan tembok batu, dan kamar-kamar istana serta kuil—cukup tinggi sehingga orang bisa berjalan.
Dura yang dibangun oleh bangsa Yunani pada sekitar tahun 300 SM ditaklukkan bangsa Romawi hampir 500 tahun kemudian. Dindingnya yang tinggi dan tebal serta berada di atas Sungai Eufrat merupakan pos perbatasan yang sempurna. Ujung utara tidak berdinding dan diubah menjadi “kawasan hijau” zaman Romawi, dilengkapi dengan sejumlah barak, kantor pusat untuk komandan garnisun, rumah pemandian dari bata merah yang cukup besar untuk mandi seribu orang tentara, amfiteater kekaisaran di sebelah timur, serta istana berkamar 600 yang cocok untuk para petinggi.
Daftar nama petugas memperlihatkan sedikitnya tujuh pos jaga berada di bawah kendali Dura. Salah satu pos jaga diawaki oleh hanya tiga orang tentara; pos jaga lainnya berjarak sekitar 150 kilometer ke arah hulu sungai. “Ini bukan kota yang terus-menerus terancam serangan musuh,” kata James saat saya datang berkunjung sebelum situasi politik di Suriah memburuk dan penggalian masih dapat dilakukan.
“Tentara yang bertugas jaga di sini mungkin lebih sibuk mengawasi penduduk setempat daripada mempertahankan pos dari serbuan dan serangan musuh.” Masa damai itu tak bertahan lama. Persia muncul sebagai ancaman serius di sepanjang garis perbatasan kekaisaran di sebelah timur setengah abad setelah bangsa Roma merebut Dura. Dimulai tahun 230, perang di antara para pesaing berkobar di kawasan Mesopotamia. Segera terbukti bahwa strategi perbatasan yang telah berhasil melindungi Romawi selama lebih dari satu abad tak sanggup melawan musuh berpasukan besar yang mantap.
Kekalahan Dura terjadi tahun 256. James menghabiskan waktu sepuluh tahun untuk menyingkapkan misteri saat-saat terakhir kota bertembok itu. Katanya, Romawi pasti sudah tahu bahwa serangan musuh akan tiba. Mereka punya waktu untuk memperkokoh tembok barat dengan mengubur sebagian kota.
Tentara Persia membangun perkemahan di permakaman kota yang berjarak beberapa ratus meter dari gerbang utama Dura. Tentara Persia membangun jalan penyerangan dan menggali terowongan di bawah kota. Harapannya, dapat meruntuhkan pertahanan kota. Pasukan Dura membalas melalui terowongan mereka sendiri.
!break!
Tatkala pertempuran semakin sengit di atas tanah, kata James, sebanyak 19 tentara Romawi berhasil menerobos terowongan pasukan Persia. Gas beracun, yang dipompakan ke dalam kamar bawah tanah, berhasil mencekik mereka. Sisa-sisanya merupakan bukti arkeologi tertua tentang berlangsungnya perang kimia.
Pasukan Persia gagal meruntuhkan tembok Dura, tetapi pada akhirnya berhasil merampas kota itu. Di kemudian hari, kota ditelantarkan sehingga terkubur di dalam pasir gurun. Pasukan Persia terus merasuk masuk ke provinsi timur Roma, merampas puluhan kota, dan menumbangkan dua kaisar sebelum menangkap kaisar ketiga, Valerian yang malang, tahun 260. Raja Persia, Shapur, konon menggunakan Valerian sebagai tumpuan kaki untuk beberapa waktu, lalu memerintahkan tentaranya untuk menguliti kaisar malang itu dan memaku kulitnya ke dinding.
Kekalahan itu menjadi titik balik. Kira-kira saat keruntuhan Dura, keseimbangan yang hati-hati dijaga antara penyerangan, pertahanan, dan intimidasi di perbatasan itu juga ikut runtuh.
Selama hampir 150 tahun, perbatasan itu telah membantu Romawi mengabaikan realitas yang menyakitkan: Dunia di balik dinding perbatasan berhasil menandinginya, sebagian karena bangsa Romawi itu sendiri. Kaum Barbar yang bertugas dalam pasukan Romawi membawa pulang pengetahuan, senjata, dan strategi militer Romawi, kata Michael Meyer, ahli arkeologi di Berlin.
Ketika pasukan ditarik dari seluruh kekaisaran untuk memukul mundur pasukan Persia, pos-pos lemah di Jerman dan Rumania mendapat serangan hampir pada waktu seketika. “Titik lemah strategi mereka adalah bahwa bangsa Roma memusatkan kekuatan militer di perbatasan,” ujar Meyer. “Ketika Jerman menyerang perbatasan dan berada di belakang pasukan Romawi, seluruh wilayah kekuasaan Romawi pun terbuka lebar.”
Tulisan pada altar setinggi 1,5 meter berhasil digali di Augsburg oleh para pekerja Jerman pada 1992. Ini semacam batu nisan untuk gagasan hebat Hadrian, yang menyatakan, pada tanggal 24 dan 25 April 260 Masehi, tentara Romawi bertempur melawan pasukan Barbar yang datang dari luar perbatasan Jerman. Pasukan Romawi menang dengan susah payah.
Komandannya mendirikan altar tanda kemenangan. Apa yang tersirat menyuguhkan kenyataan yang berbeda: Pasukan Barbar telah merasuk dalam ke wilayah Italia selama berbulan-bulan. Mereka berangkat pulang ke wilayah itu dengan membawa ribuan tahanan tentara Romawi.
Kekaisaran itu tak akan aman lagi di dalam tempat perlindungannya. Sejumlah kota di seluruh wilayah kekaisaran mulai membangun tembok sendiri-sendiri. Dalam kurun waktu dua abad, kekaisaran yang pernah menguasai kawasan yang lebih luas daripada Uni Eropa masa kini itu pun hilang ditelan titimangsa.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR