Kutukan wewangian surgawi, ketika rempah-rempah menyimpan bala maut dalam kekuatan daya pikatnya.
Nationalgeographic.co.id—“Penyakit ini selalu bermula dari pesisir dan dari sana masuk ke bagian dalam,” demikian catat Procopius. Dia merupakan sejarawan Bizantium abad keenam, yang melaporkan tentang pagebluk di Konstantinopel, Turki. Kelak, pagebluk ini
dikenal sebagai “Plague of Justinian” atau Wabah Yustinianus—karena terjadi pada masa Kaisar Yustinianus, penguasa Romawi Timur.
Menurut catatan sang sejarawan, pagebluk hebat itu bermula di selatan Alexandria, Mesir, pada 540. Kemudian berjangkit ke Palestina dan menjalar hingga ke Konstantinopel pada musim semi 542. Pagebluk ini menyebar dari pelabuhan utama ke pelabuhan lain, dan tampaknya tidak mengikuti pola musiman apa pun.
Dia mengungkapkan bahwa penyakit ini sama sekali belum dikenal. Procopius juga menyebutnya sebagai penyakit kiriman dari Tuhan. Catatannya menerangkan bahwa angka kematian meningkat dari 5.000 dalam sehari menjadi lebih dari 10.000.
Sebelum jatuh sakit, demikian ungkapnya, korban kerap bermimpi tentang kedatangan makhluk gaib dalam wujud manusia. Makhluk ini menyentuhnya, sehingga menularkan penyakit. Namun, ada pula korban yang hanya mendengar suara aneh. Warga mengunci pintu rumah karena takut disambangi tamu yang tak diundang itu. Mereka resah sepanjang malam-malam yang tak berkesudahan.
Sejarawan modern memperkirakan Plague of Justinian telah mencabuti nyawa 30-50 juta orang! Tanda-tanda orang yang terinfeksi biasanya demam mendadak dalam beberapa hari. Kemudian di bagian selangkangan, ketiak, paha, dan lehernya mengalami pembengkakan atau pelepuhan seukuran kacang polong —belakangan disebut bubos. Kematian bisa terjadi kapan saja.
Procopius juga mengisahkan beberapa pasien bunuh diri dengan menceburkan diri ke sungai. Bahkan, Kaisar Yustinianus pun terjangkit pagebluk. Selangkangannya bengkak. Untungnya, sang kaisar berhasil menjadi penyintas wabah maut ini.
Respons manusia pada setiap pagebluk tampaknya memiliki pola-pola yang berulang. Procopius mengabarkan, pagebluk itu dibarengi simpati masyarakat, baik bagi mereka yang harus bekerja keras merawat para korban maupun bagi korban
yang terkulai. Ajaibnya, para dokter dan perawat cenderung tidak terinfeksi meski mereka berkontak langsung dengan pasien. Tampaknya penyakit itu tidak menyebar melalui kontak langsung.
Bagaimana penyakit itu menyebar? Jaringan perdagangan dunia timur dan barat bersimpul di kawasan Bizantium, yang bertumpu pada ibu kotanya di Konstantinopel. Jaringan ini menautkan Mesir, Arab, India, dan Tiongkok. Kapal-kapal dagang dan kereta-kereta para kafilah pengangkut rempah telah memunculkan peluang bakteri atau virus yang terbawa angkutan itu.
Ada banyak jalan bagi rempah Asia Tenggara untuk sampai ke Eropa. Jalur Rempah yang berkelindan dengan jalur perdagangan dupa wangi ke penjuru dunia. Catatan Cina pada abad ke-4 menunjukkan pentingnya pertalian dagang antara India dan Asia Tenggara. Kelak pada abad ke-7 dan abad ke-8, orang Arab dan Persia turut meramaikan jalur perdagangan ini.
Kekhalifahan Abbasiyah bertakhta dari Persia sampai Afrika Utara. Dinasti ini juga menggunakan pelabuhan di Iran, Yaman, dan Mesir sebagai pintu masuk ke India dan Cina demi mendapatkan rempah Nusantara. Sementara itu Jalur Sutra Darat, diyakini sebagai salah satu jalur perdagangan tertua sebelum Jalur Rempah, menjadi rute darat sepanjang lebih dari enam ribu kilometer. Terbentang dari Tiongkok melewati India, Persia, dan berujung sampai Konstantinopel di Eropa Tenggara.
Di Konstantinopel, pengamatan Procopius terhadap Plague of Justinian merupakan “bagian dari pagebluk pertama dalam sejarah yang didokumentasikan,” ungkap Francois Pieter Retief dan Louise Cilliers dari University of the Free State di Afrika Selatan. “Pagebluk ini juga mengantarkan pada masalah kesehatan global baru […], penyakit yang akan menyerang masyarakat internasional selama hampir 1.300 tahun kemudian.”
Pagebluk yang dimaksud itu muncul dengan julukan “Black Death”, yang berjangkit di Eropa sekitar 1346-1361. Korbannya 200 juta jiwa! Penelitian modern menunjukkan bahwa pagebluk serupa telah menjangkiti Eropa dalam beberapa gelombang pada rentang 1369–71, 1374–75, 1390, dan 1400.
Bencana Plague of Justinian sampai Black Death diduga kuat menyebar melalui perdagangan rempah. Fluktuasi iklim memengaruhi populasi tikus hitam Rattus rattus, yang sekujur badannya digelayuti kutu-kutu yang terinfeksi bakteri Yersinia pestis.
Kita menyebutnya sebagai penyakit pes. Sejatinya tikus-tikus yang plesiran itu sudah tercatat pada abad keenam. Angkutan dagang melalui kapal memungkinkan seekor tikus Roma pernah ditemukan di Fenchurch Street di London pada sekitar abad keempat.
Sebelum Black Death berkecamuk di Eropa, pada 1320 orang Tiongkok telah mendokumentasikan pagebluk pes pertama kali. Tampaknya tikus-tikus yang terinfeski ini berasal dari Asia Tenggara. “Tikus Asia kemungkinan besar pertama kali datang ke Eropa dengan menumpang armada perdagangan Romawi dari India,” ungkap Jack Turner dalam Spice: The History of Temptation, yang diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia oleh Komunitas Bambu dengan tajuk Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imperialisme. Tikus “tidak bisa melintasi gurun pasir, tetapi mereka dapat menumpang rombongan kapal trans-oseanik yang bermuatan lada,” ungkapnya.
Rempah-rempah memang memiliki khasiat sebagai obat. Namun, pagebluk yang diterjemahkan sebagai “udara jahat” juga membuat salah kaprah tentang rempah. Salah satu dampak berbahaya rempah adalah keyakinan orang terhadap
khasiat rempah, ungkap Turner, justru telah mengalihkan penyebab utama dari suatu penyakit. Dokter-dokter era Black Death menggunakan wadah berbentuk bola dan masker berbentuk paruh burung, yang keduanya berisi rempah-rempah wangi dan herbal. “Tentunya,” tulis Turner, “hal yang ironis dari metode ini adalah kegunaan medisnya yang nihil.”
Salah kaprah tentang rempah itu bukan hanya menyelimuti orang-orang era Black Death, tetapi juga berlanjut hingga pagebluk Covid-19 di Indonesia. Ada produk berbasis rempah yang digadang-gadang sebagai senjata andalan penangkal virus. Bahkan, diklaim sebagai antivirus. Padahal, rempah-rempah bukanlah antivirus, melainkan nutrisi tambahan bagi mereka yang kekurangan asupan, atau membasmi kuman. Prinsip dasar sanitasi adalah yang utama dalam setiap pagebluk.
Tampaknya migrasi manusia dan perdagangan antarkawasan pula yang menyebabkan pagebluk pes di Eropa mereda. Pada sekitar abad ke-18, kawanan
tikus cokelat asal Norwegia menyebar ke daratan Eropa Barat. Turner mengungkapkan, tikus cokelat ini tidak terinfeksi bakteri penyebab pes. Semesta pun mendukung, populasinya yang kian melebihi tikus hitam sehingga menjadi alasan meredanya pagebluk pes di Eropa.
“Rempah menjadi salah satu faktor penyebaran penyakit,” kata Syefri Luwis, peneliti sejarah. “Kedatangan orang-orang Eropa dan daratan Asia ke Nusantara tidak hanya membawa misi perdagangan, tetapi tanpa sadar juga membawa penyakit.”
Baca Juga: Merapah Rempah: Benarkah Lapu-Lapu Membunuh Magellan? Simak Kisahnya
Baca Juga: Merapah Rempah: Mengungkap Narasi Asal-Usul Kesejatian Indonesia
Baca Juga: Temuan Ahli Antropologi di Balik Mantra Misterius dari Barus
Baca Juga: Rempah Timor: Dari Kronik Cina Sampai Kedatangan Penjelajahan Eropa
Baca Juga: Histori Eropa dalam Perburuan Rempah yang Mendorong Neo-Imperialisme
Penyebaran ragam penyakit ke Nusantara mengikuti pelayaran Jalur Rempah. Syefri menambahkan bahwa pusat-pusat penyebaran wabah biasanya di kawasan pelabuhan, seperti sipilis dan cacar.
Sipilis merupakan salah satu penyakit menular seksual yang dibawa oleh orang-orang Eropa—kendati tidak menjadi sebuah wabah, penyakit ini cukup mematikan. Sipilis telah mencapai India bersamaan dengan pendaratan Portugis pada 1498. Kemudian sekitar 1505 telah menyebar.
Penyakit ini diduga sampai ke Nusantara setelah Portugis menaklukkan Malaka. Antonio Pigafetta, rekan mendiang Magellan, menjumpai sipilis saat singgah di kawasan timur Nusantara sekitar 1522.
“Penyakit ini dibawa Portugis pada abad ke-16,” demikian ungkap Syefri. “Makanya masyarakat menyebutnya penyakit Portugis.”
Namun, tampaknya kita tidak bisa hanya menuding orang-orang Eropa sebagai penyebar penyakit. Syefri mengisahkan catatan orang Portugis tentang epidemi cacar pertama di Ternate, Maluku Utara, pada 1558. Kemudian, mereka juga mencatat cacar menyerang Ambon pada 1564. Masih dalam jaringan perdagangan rempah, penyakit ini juga mewabah di Filipina pada 1574-1591.
“Kemungkinan besar cacar tiba di Nusantara [berasal] dari Cina dan atau India karena wilayah tersebut sudah jauh lebih dahulu diketahui pernah berjangkit cacar,” ujar Syefri. “Dan, mereka sudah lebih lama berhubungan dengan Nusantara.”
Kapal-kapal dagang dan karavan-karavan kafilah pengangkut rempah mungkin tidak secepat pesawat dan mobil balap. Namun moda transportasi itu menjadi saluran terbaik penyebaran pagebluk.
“Semakin cepat manusia berpindah,” kata Syefri,“semakin cepat penyakit menyebar.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR