Nationalgepgraphic.co.id - Pawai kemenangan adalah salah satu ritual suci Romawi kuno yang paling penting. Prosesi spektakuler ini adalah perayaan kemenangan militer Romawi, keberanian para prajuritnya, dan kemurahan hati para dewa.
“Ini juga salah satu penghargaan tertinggi yang bisa dicapai oleh seorang pria Romawi,” ungkap Kieren Johns dilansir dari laman The Collector. Seorang pria ditunjuk sebagai pemenang, dianugerahi prosesi besar melalui ibu kota kekaisaran.
Dalam pawai ini, tahanan dan hasil jarahan juga dipamerkan, semua ini akan membawa ketenaran bagi sang Penakluk. Seiring waktu, kemenangan menjadi alat penting dalam manipulasi politik Romawi.
Apakah pawai kemenangan ini hanya sekedar ajang pamer kekuatan belaka bagi pemenang perang? Atau ada ambisi politik di baliknya?
Asal-usul pawai kemenangan Romawi
Apa itu pawai kemenangan Romawi? Singkatnya, ini adalah parade bagi seorang jenderal Romawi yang menang. Parade ini akan melintasi jalan-jalan ibu kota kekaisaran. Siapa saja yang berhak diarak selama parade? Kriterianya berubah-ubah. Valerius Maximus mengeklaim bahwa seorang jenderal dapat diarak jika ia telah membunuh setidaknya 5.000 tentara musuh dalam satu pertempuran.
Namun, tampaknya tidak ada seperangkat aturan yang diakui untuk pawai kemenangan yang akan diberikan. Kurangnya kejelasan ini akan memicu ketegangan dan permusuhan politik selama berabad-abad.
Asal usul pawai kemenangan, seperti banyak aspek tradisi Romawi, sangat tidak jelas. Banyak yang tampaknya didasarkan pada aspek budaya Yunani dan Etruria, diserap dan digunakan kembali sebagai Romawi. Sejarawan kekaisaran, seperti Plutarch, tampaknya bersikeras bahwa Romulus pendiri Romawi adalah orang pertama yang menikmati pawai kemenangan ini.
Ketika dianugerahi dengan pawai kemenangan, jenderal yang menang akan mengenakan toga khusus (toga picta). Sang Jenderal kemudian memasuki kota melalui Porta Triumphalis, kemungkinan terletak di Campus Martius. Prosesi pawai akan dilakukan sekitar kota dan melalui Forum, sebelum menuju ke Kuil Jupiter Optimus Maximus di Bukit Capitoline. Di sana, pengurbanan dilakukan kepada dewa utama Romawi sebagai ungkapan syukur atas kemenangan yang diperoleh.
Harta karun rampasan perang secara tidak langsung mengubah budaya Romawi
Selain menunjukkan kekuatan dan bantuan ilahi, pawai kemenangan menjadi kesempatan bagi sang Pemenang untuk memamerkan hasil rampasan. Harta karun ini akan diserahkan ke Romawi.
Ekspansi kekuatan Romawi ke Mediterania menyebabkan perpindahan sejumlah besar logam mulia, karya seni, dan barang mewah lainnya.
“Dampak barang jarahan ini sangat mengejutkan,” tambah Johns. Kekaisaran seakan mengalami revolusi budaya yang dipengaruhi oleh kesenian yang dibawa dari luar kekaisaran. Ini termasuk patung perunggu dan marmer yang spektakuler.
Marmer mengubah struktur kota di mana itu akan menjadi ‘panggung’ simbol prestise pemenang.
Bukan hanya materi yang ditampilkan dalam pawai kemenangan, tetapi juga orang-orangnya. Tawanan perang diarak di jalan-jalan ibu kota kekaisaran untuk menunjukkan superioritas Romawi yang merendahkan.
Hadiah utama Romawi adalah menyandera pemimpin musuh untuk diarak sebelum—kemungkinan besar—dieksekusi. Sang pemenang, bagaimanapun, harus memastikan bahwa pawainya dilakukan dengan semegah mungkin. Semakin bermartabat atau hebat seorang tawanan, semakin baik bagi jenderal pemenang. Eksotisitas tawanan dan keberanian yang sia-sia dalam melawan Romawi bisa membuat tawanan hampir menjadi tokoh sentral dari prosesi.
Pawai kemenangan sebagai ajang penegasan keunggulan
Pawai kemenangan Romawi adalah institusi yang secara inheren kompetitif di kekaisaran. Bagi sang Pemenang, itu adalah kesempatan berharga untuk menegaskan keunggulannya.
Berkat penyitaan sejumlah besar jarahan, ia pun berkesempatan untuk ‘menjilat’ agar mendapatkan posisi yang nyaman kelak. Ini adalah fitur berulang dari pawai di republik. Para jenderal yang sukses sering terlihat berusaha untuk mengalahkan satu sama lain dalam hal skala. “Ini dilakukan untuk mendapatkan prestise politik,” Johns menambahkan.
Uniknya, jika seseorang memiliki ‘bekas pemenang’ di antara leluhurnya, ini menjadi nilai lebih. Menurut Cicero, hal ini menyebabkan maraknya pemalsuan sejarah.
Namun itu bukan satu-satunya penyebab kerusakan moral di Romawi. Meningkatnya kemegahan kemenangan, yang dicirikan oleh karya seni dan marmer Helenistik, akhirnya merusak nilai-nilai tradisional Romawi. Paling tidak, ini menurut pendapat sejarawan Romawi seperti Dionysius dari Halicarnassus dan Livy. Apakah itu merusak moral Romawi atau tidak, jelas bahwa persaingan itu merusak stabilitas politik.
Baca Juga: Kucing Menjaga Alat Perang Romawi yang Disegani hingga Jadi Mitologi
Baca Juga: Menara Trajan: Sebuah Catatan Perang Menjulang di Tengah Roma
Baca Juga: Perang Etruska: Takluknya Peradaban Kuno Etruria ke Tangan Romawi
Pawai kemenangan yang paling terkenal sekaligus terakhir adalah untuk Pompeius yang Agung. Pada tahun 61 SM—bertepatan dengan ulang tahunnya yang keempat puluh lima—ia merayakan kemenangan yang luar biasa megah. “Butuh dua hari untuk menyelesaikannya,” imbuh johns.
Didampingi oleh tawanan yang berhasil dikalahkan, pawai ini dilakukan setelah ia memenangkan pertempuran di timur dan memberantas pembajakan.
Tidak main-main, Pompeius membawa kepala bajak laut, keluarga Raja Tigranes dari Armenia, Aristobulus, Raja Yahudi, dan saudara perempuan dan anak-anak Mithridates, Raja Pontus.
Jarahan yang dipamerkan juga mengejutkan. Appian mengeklaim bahwa Pompeius masuk kota dengan kereta bertatahkan permata, mengenakan jubah Alexander Agung.
Penguasa dunia: kaisar dan pawai kemenangan Romawi
Transformasi dari Republik menjadi Principate di bawah Augustus secara tegas mengubah pawai kemenangan di Romawi.
Cerdas secara politik, Augustus dengan cepat mengidentifikasi ancaman kejayaan militer. Menurutnya, jika seorang pria mendapatkan terlalu banyak popularitas di antara legiun, dia bisa menantang kaisar.
Sejak 28 SM, dia telah memblokir pawai kemenangan Marcus Licinus Crassus Muda. Pawai terakhir yang tercatat di Fasti Triumphales terjadi pada 19 SM, diberikan kepada Cornelius Balbus atas keberhasilannya di Afrika.
Setelah itu, semua kemenangan akan dimenangkan atas nama kaisar. “Ini mencerminkan kekuasaan tertinggi kaisar,” imbuh Johns.
Keputusan Marcus Agripa untuk menolak kemenangan pada tahun 14 M menjadi preseden untuk apa yang terjadi selanjutnya. Jumlah pawai kemenangan Romawi yang diberikan turun tajam pada periode kekaisaran.
Meski senat berdebat, adalah hak prerogatif kaisar untuk memberikan kemenangan. Namun kemenangan juga dapat ditunjukkan lewat pembangunan monumen yang menggambarkan adegan perang, harta jarahan, dan tahanan.
Meski jumlah pawai kian menurun, ideologinya terus berlanjut. Bagi para kaisar, prosesi kemenangan adalah sarana untuk melegitimasi kekuasaan mereka dalam skala besar. Ini adalah sarana untuk mengomunikasikan kekuasaan atas dunia dan legion kepada bangsa Romawi.
Gagasan tentang pawai juga memikat para seniman di seluruh Eropa. Oleh seniman, prosesi kemenangan dijadikan sebagai subjek karya seni terselubung.
Daya tarik modern dengan kemenangan Romawi tidak berakhir di era Renaisans. Ini diteruskan oleh para elit di Eropa sebagai wacana yang menginformasikan dan mengilhami ambisi imperialistik modern.
Kemenangan, perayaan kehebatan militer dan penaklukan bangsa-bangsa, dengan demikian menjadi model yang menarik untuk diadopsi.
Meski asal-usulnya tidak jelas, pawai kemenangan Romawi muncul sebagai salah satu warisan budaya yang paling abadi dari kekaisaran Romawi. Ini muncul simbol politik yang kuat, yang siap dieksploitasi oleh masyarakat modern.
Prosesi besar kemegahan bela diri ini, bercampur dengan tragedi perang yang sangat manusiawi, pun berevolusi dari waktu ke waktu.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR