Nationalgeographic.co.id - Dipotong dari permukaan tebing terjal hampir seribu tahun yang lalu, Gua Ajanta India menjadi rumah bagi ruang-ruang suci Buddha yang dihiasi dengan karya seni kuno yang semarak.
Di sepanjang tebing berbentuk tapal kuda di atas Sungai Waghora di India tengah, sekelompok tentara Inggris berharap menangkap seekor harimau.
Alih-alih mendapatkan harimau, tahun 1819 mereka menemukan sesuatu yang mengejutkan: sebuah jaringan gua buatan manusia yang luar biasa. Keindahan pahatan batu yang terlihat di luar hanyalah petunjuk dari apa yang menunggu di dalam aula batu itu.
Bagian dalam gua, rumah bagi kelelawar dan diketahui oleh penduduk lokal. Selama 14 abad, gua ini tidak diketahui oleh seluruh dunia sampai akhirnya ditemukan oleh tentara Inggris. Di dalamnya, terdapat koleksi seni religius yang sangat menakjubkan.
Lukisan dinding yang sangat besar, pahatan batu, tempat pemujaan (stupa), kuil, ruang doa, dan prasasti yang dibuat selama berabad-abad. Semua ini menunjukkan mahakarya seni Buddha awal dan pencapaian kreatif India klasik di bawah dinasti Gupta.
Asal-usul Gua Ajanta
Kemewahan kompleks Ajanta mencerminkan perlindungan kerajaannya. Meskipun beberapa kuil gua berasal dari abad kedua dan pertama Sebelum Masehi, sebagian besar dipahat pada masa pemerintahan kaisar Vakataka bernama Harishena. Ia memerintah sebagian besar India tengah pada pertengahan abad kelima Masehi. Ratusan biksu tinggal di gua-gua tersebut.
Periode Ajanta sebagai pusat keagamaan dan seni yang berkembang tampaknya bertepatan dengan pemerintahan Harishena, yang meninggal pada tahun 478.
Pada abad ketujuh, kuil mulai kosong, gua-gua ditinggalkan, dan lukisan-lukisan indah Ajanta menjadi tidak jelas. Buddhisme secara bertahap akan menghilang dari India, negara kelahirannya. Pada akhir abad ke-13, tempat-tempat sucinya dihancurkan atau ditinggalkan setelah invasi dari tentara Muslim.
Kemegahan kuil
Sebagian besar gua Ajanta dirancang sebagai ruang doa (chaitya) dan tempat tinggal (vihara). Gua ini menampilkan ruang tengah yang dilapisi dengan kolom yang membuka ke kuil tempat patung Buddha. Hingga kini, patung tersebut masih berada di tempat aslinya. Di sepanjang koridor luar, pintu-pintu terbuka ke ruang-ruang biarawan.
Sebagian besar, suasana arsitekturnya khusyuk, hormat—tetapi dindingnya dihiasi dengan sesuatu yang hampir seperti dunia lain. Gua yang paling rumit dirancang untuk pencerahan dan banyak dari dindingnya ditutupi dengan lukisan inspirasional.
Hanya sebagian besar mural yang bertahan selama berabad-abad. Cukup untuk menampilkan suasana spiritual yang meresapi kuil-kuil ini. Ada gambar Buddha dan Bodhisattva. Ada pangeran dan putri, pedagang, pengemis, musisi, pelayan, kekasih, tentara, dan orang suci. Gajah, monyet, kerbau, angsa, kuda, dan bahkan semut bergabung dengan kerumunan manusia. Pohon mekar, bunga teratai terbuka, tanaman merambat melengkung dan menjangkau.
Salah satu mural yang paling memesona menggambarkan sosok anggun seorang Bodhisattva yang mewakili kasih sayang yang tak terbatas, Padmapani (juga dikenal sebagai Avalokite svara) memegang teratai. Muncul di dekat pintu masuk salah satu kuil, Padmapani berdiri sebagai penjaga, menawarkan visi kedamaian bagi semua orang yang masuk.
Baca Juga: Temuan Situs Guci Megalitik di India: Siapa yang Membuatnya?
Baca Juga: Sebuah Belati Berusia Dua Milenium Ditemukan di Tamil Nadu, India
Baca Juga: Menilik Sistem Pendidikan Kuno di India, 1.500 Tahun Sebelum Masehi
Patung-patung Bodhisattva menyambut pengunjung gua. Sama seperti mereka menyambut para peziarah, biksu, dan pedagang yang melewati Ajanta pada masa kejayaannya. Di dindingnya terdapat mural rumit yang menceritakan kisah-kisah, yang disebut Jataka, dari banyak kehidupan lampau sang Buddha. Karya-karya lain menggambarkan insiden dari kehidupan Buddha serta sejarah Siddhartha Gautama, seorang pangeran India yang hidup seribu tahun sebelumnya.
Lukisan-lukisan itu berfungsi untuk membangkitkan pengabdian dan meningkatkan kesadaran spiritual melalui tindakan melihat. Bagi sebagian besar pengunjung hari ini, kisah-kisah itu misterius. Namun sensasi menyaksikan gambar-gambar itu muncul dari kegelapan dengan segala keanggunan dan keindahannya dulu dan sekarang.
Upaya pelestarian
Di zaman modern, dunia perlahan-lahan menemukan kembali kekuatan luhur karya seni Ajanta. Fotografer National Geographic Volkmar Wentzel mengunjungi Ajanta dan tetangganya Ellora dalam perjalanannya tahun 1946-1947 melintasi India.
Kompleks ini dinobatkan sebagai situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1983. Sayangnya upaya pelestarian yang keliru oleh dua ahli konservasi Italia menutupi banyak mural dengan pernis akhirnya mengubah warna.
Rajdeo Singh, kepala konservasi Survei Arkeologi India, meluncurkan kampanye pelestarian intensif pada tahun 1999. Fotografer dan pembuat film India Benoy Behl telah mendokumentasikan gua selama beberapa dekade. Ia tergerak oleh komposisi kuno, “Ini menunjukkan kepada kita bagian ilahi dari diri."
Terlepas dari keindahan lukisan Ajanta, lukisan-lukisan merupakan pencapaian luar biasa yang terisolasi. Studi terbaru telah memperjelas bahwa kemegahan Ajanta muncul dari tren sebelumnya, dan pengaruhnya menyebar jauh dan luas. “Karya seni gua cocok dengan tradisi Helenistik, Hindu, dan Buddha yang lebih luas,” tutur Behl.
Perkembangan citra suci terlihat di dalam lukisan gua. Pada awalnya, para seniman mengandalkan simbol—jejak kaki, pohon, singgasana kosong—untuk mewakili Buddha historis. Kemudian, para pengikutnya menginginkan fokus yang lebih pribadi untuk pengabdian mereka.
Citra ini banyak ditemukan di anak benua India pada abad pertama Masehi. Buddha dengan mata tertunduk dan ekspresi tenang, menjadi prototipe gambar Buddha yang tersebar di seluruh Asia. Ini akhirnya menjadi wajah Buddha yang tak terhapuskan hingga hari ini.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR