Nationalgeographic.co.id—Orator Romawi Marcus Tullius Cicero, menghabiskan sebagian besar masa jabatannya sebagai gubernur Kilikia dengan mencoba mengabaikan permintaan yang aneh dari mantan klien hukumnya, Marcus Caelius Rufus.
"Dalam beberapa surat yang dikirim selama lebih dari satu tahun, Caelius berulang kali memohon kepada Cicero untuk menangkap dan mengiriminya sekelompok macan tutul lokal," tulis Caroline Wazer kepada The Atlantic.
Ia menulis dalam sebuah artikel yang berjudul The Exotic Animal Traffickers of Ancient Rome. Artikelnya terbit pada 30 Maret 2016.
Menurut Wazer, "Caelius membutuhkan hewan-hewan itu, karena dia mencoba untuk memulai karir politiknya—dan tidak ada yang lebih menarik hati para pemilih daripada berburu hewan eksotis secara langsung di arena."
Caelius terus menulis surat kepada Cicero, dia menulis: "Akan menjadi aib bagi Anda jika saya tidak memiliki macan kumbang Yunani."
Beberapa saat kemudian, ia mengirim surat lagi kepada Cicero: "Di hampir setiap surat saya telah menyebutkan subjek macan kumbang kepada Anda. Akan sangat memalukan bagimu bahwa Patiscus telah mengirim sepuluh macan kumbang ke Curio."
Tak mendapat respon, wajar bila Caelius menulis surat-suratnya dengan nada sedikit mengancam kepada Cicero. Terlebih, ada Curio yang sudah lebih dulu sibuk mengumpulkan hewan buas.
Curio merupakan lawan politik dari Caelius. Bagi Curio, mendapatkan hewan buas untuk ditampilkan dalam Colosseum akan menarik para pendukung politiknya. Curio juga dengan mudah mengumpulkan hewan buas dari Patiscus, tak seperti Caelius yang diabaikan Cicero.
Karena Cicero enggan mengumpulkan hewan buas untuk keuntungan Caelius, tontonan publik berdarah yang menampilkan hewan sudah menjadi bagian penting dari budaya Romawi.
"Salah satu jenis pertunjukan binatang buas, yang dikenal sebagai damnatio ad bestias atau eksekusi oleh binatang buas, akhirnya menjadi kiasan kisah-kisah martir Kristen seperti Daniel dan singa," sambung Wazer.
Binatang buas seolah jadi komoditas eksotis yang diinginkan untuk dipertunjukkan. Menonton hewan buas merobek-robek para narapidana akan menjadi tontonan yang cukup menarik.
Selain untuk bergulat dengan para gladiator, ada pula venatio atau perburuan. Ia merupakan cabang olahraga di Romawi yang mana hewan-hewan buas akan dilepas dan diburu.
"Sebagaimana hewan yang dijatuhi hukuman mati, baik di tangan pemburu atau mati dalam pertempuran dengan hewan lain," imbuhnya lagi.
Saking menariknya, venatio jadi olahraga yang masih bertahan sampai hari ini. Bahkan, matador yang sohor di Spanyol adalah bukti konkret lestarinya venatio yang lebih modern.
Baca Juga: Sejarah Berdarah Koloseum, Arena Hiburan dan Pembantaian Romawi
Baca Juga: Seperti Apa Perkembangan Kehidupan Beragama Bangsa Romawi Kuno?
Baca Juga: Lima Metode Eksekusi Mati yang Mengerikan Lainnya di Era Romawi Kuno
Baca Juga: Frumentarii, Pengumpul Gandum yang Diangkat Jadi Agen Rahasia Romawi
Alasan Cicero tak membalas suratnya adalah bentuk kritiknya pada venatio. Bagi Cicero, praktik itu akan membunuh ekosistem hewan buas dan bisa menyebabkan kepunahan. Namun, agaknya menarik bagi bagian terburuk dari sifat manusia.
Dalam sebuah catatannya, orator Cicero menggambarkan venatio (diselenggarakan oleh jenderal terkenal Pompey the Great) yang begitu brutal hingga membunuh para hewan-hewan itu.
Pliny the Elder juga menguatkan kesedihannya dalam catatan yang lain, dengan menyebut: "Ketika (gajah-gajah) telah kehilangan semua harapan untuk melarikan diri, mereka mencoba untuk mendapatkan belas kasihan dari orang banyak dengan gerakan permohonan yang tak terlukiskan."
Tontonan perburuan gajah Pompey, yang berlangsung menjelang akhir Republik Romawi, memicu respons emosional dari orang banyak, meskipun itu sama sekali tidak menandai akhir dari venatio.
Source | : | The Atlantic |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR