Nationalgeographic.co.id—Embrio kretek lahir dari kebiasaan masyarakat yang mengisap rokok. Tidak ada catatan untuk mengetahui secara pasti kapan penduduk Indonesia mulai merokok.
Menurut Solichin Salam dalam tulisan Noertjahyo, di tahun 1624 "para pembesar Jawa di Keraton Kartasura sudah gemar mengisap rokok dari tembakau."
J.A. Noertjahyo menulis dalam sebuah bab berjudul Sigaret Kretek, Tonggak Bangsa. Bab itu masuk dalam buku 1000 Tahun Nusantara yang terbit pada 2000.
Tak mengherankan jika sudah ada budaya merokok di Keraton Kartasura dan Mataram sejak abad ke-17. Thomas Stamford Raffles dan De Condolle menyebutkan bahwa tembakau dan kebiasaan merokok telah masuk ke Pulau Jawa sekitar tahun 1600.
Bahkan, Amen Budiman dan Onghokham menyebut beberapa kesaksian tentang Sultan Agung (Raja Mataram 1613-1645) adalah seorang perokok berat.
"Kisah romantis yang terkait dengan rokok di masa pemerintahan Sultan Agung itu adalah kisah Roro Mendut-Pranacitra," tulis Noertjahyo.
Dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi, Kadipaten Pati yang dipimpin Adipati Pragola memberontak kepada Sultan Agung dari Kerajaan Mataram.
"Pemberontakan Pati itu berhasil dihancurkan oleh pasukan Mataram yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung bersama Tumenggung Wiraguna. Adipati Pragola tewas, dan seluruh harta, termasuk istri-istrinya menjadi rampasan perang," tulis Dewanto Samodro.
Dewanto menulis sebuah artikel kepada Sekertariat Kabinet Republik Indonesia dalam artikel berjudul Rara Mendut dan Daulat Negeri Kretek yang terbit pada 30 September 2015.
Ia menulis bahwa, "Salah satu rampasan perang yang diperoleh dari Pati adalah Roro Mendut, selir kesayangan Adipati Pragola. Roro Mendut diserahkan kepada Tumenggung Wiraguna. Namun, Roro Mendut menolak untuk menjadi selir Tumenggung Wiraguna."
Karena tak bersedia menjadi selir Turnenggung Wrraguna yang telah berusia tua itu, Roro Mendut dihukurn membayar pajak tiga real sehari.
Untuk memenuhi denda yang begitu besar, Roro Mendut berusaha membuat dan menjual rokok. Ia menjual rokok yang dia rekatkan dengan ludahnya dan telah ia hisap.
Para laki-laki tergoda dengan kecantikannya sehingga memilih melarisi dagangannya. Erotisme Roro Mendut juga bahkan menginspirasi adanya sales promotion girl (SPG) dalam industri rokok.
Kesibukannya untuk mencari uang guna membayar denda, mempertemukannya dengan tambatan hati. Ia bertemu dengan Pranacitra, seorang laki-laki yang muda dan rupawan.
Sepasang sejoli itu pada akhirnya saling jatuh cinta. Namun di akhir kisahnya, Pranacitra dibunuh oleh Wiraguna. Karena kecewa berat, Roro Mendut pun memilih untuk bunuh diri.
Dari istana Mataram, rokok sudah mulai dikenal para bangsawan di abad ke-17. Pribumi di zaman Hindia-Belanda kemudian mempunyai kebiasaan untuk menggulung rokoknya sendiri, dengan cara yang amat sederhana sekali susunan maupun bentuknya.
Baca Juga: Industri Kretek: Prestasi Pribumi dan Keuntungan Pemerintah Kolonial
Baca Juga: Kisah Rokok Tembakau Tiba di Nusantara dan Peleburannya dengan Rempah
Baca Juga: Sejak Kapan Manusia Merokok? Ini Bukti Tertua Penggunaan Tembakau
Baca Juga: Perempuan-perempuan yang Memegang Rahasia Mutu Tembakau Deli
Baca Juga: Cakraningrat I dan Kisah Penaklukan Arosbaya oleh Sultan Agung
"Oleh sebab itu, rokok penduduk asli di Indonesia di zaman itu belum merupakan barang dagangan yang menarik," terusnya. Setelah mengisap, perlahan rokok mulai menyebar ke seluruh pelosok negeri.
Sesudah adanya usaha untuk mencampur tembakau dengan berbagai rempah-rempah seperti cengkih, atau damar dan akar-akar wangi, bentuk kesederhanaan rokok itu mulai beralih ke arah barang komersil. Ia menjadi komoditas dagang yang lebih berarti dan menguntungkan.
Kebiasaan melinting rokok sendiri itu pun masih tetap dilaksanakan sebagian masyarakat pribumi, khususnya di daerah-daerah pedalaman yang miskin.
"Rokok demikian dikenal sebagai tingwe (singkatan dari nglinting dewe atau menggulung sendiri)," lanjutnya. Bahkan, sering terjadi rokok itu hanya terdiri dari pembungkus (klobot) dan tembakau, tanpa cengkih atau jenis rempah-rempah lain.
Source | : | 1000 Tahun Nusantara (2000) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR