Nationalgeographic.co.id - Gambar kehancuran kota pelabuhan Romawi Pompeii pada tahun 79 M oleh abu vulkanis Gunung Vesuvius menghantui para peneliti. Nasib kota dan penduduknya merupakan deskripsi mengerikan tentang kematian dan keputusasaan.
Penulis sejarah Plinius Muda mengungkapkan tentang letusan gunung berapi yang tiba-tiba. Ini membuat pembaca modern memiliki gambaran tentang kengerian peristiwa tersebut. Pamannya, laksamana terkenal Plinius tua, binasa setelahnya.
“Beberapa orang sangat takut akan kematian sehingga mereka benar-benar berdoa untuk kematian,” tulis Plinius muda. "Banyak yang memohon bantuan para dewa. Namun bahkan lebih membayangkan bahwa tidak ada dewa yang tersisa dan malam abadi terakhir telah jatuh di dunia."
Sejak reruntuhan kota ditemukan pada abad ke-16, korban yang terpelihara dengan tampilan mengerikan mengundang daya tarik sekaligus kengerian. Mereka menjadi subjek penelitian tanpa henti sejak itu. Para peneliti dan masyarakat masih terpikat oleh penduduk Pompeii yang awet berabad-abad kemudian.
Sekarang, untuk pertama kalinya, para peneliti telah sepenuhnya mengurutkan DNA lengkap seorang penduduk Pompeii. “Penelitian ini memberikan pandangan ke dalam dari satu orang yang meninggal setelah letusan,” ungkap Elizabeth Djinis dilansir dari laman Smithsonian Magazines.
Sebuah studi baru yang diterbitkan di Scientific Reports memberikan lebih banyak detail tentang susunan genetik kompleks pria Pompeii ini. Para akademisi menganalisis tulang-tulang yang terletak di dasar tengkorak dua set sisa-sisa yang ditemukan di Casa del Fabbro (rumah perajin).
Tulang-tulang itu milik seorang pria setinggi 163 sentimeter di akhir usia 30-an atau awal 40-an. Dan seorang wanita berusia di atas 50 tahun dengan tinggi sekitar 152 sentimeter. DNA yang diekstraksi dari tulang wanita tidak memberikan informasi yang cukup untuk analisis lengkap.
Kedua mayat ditemukan tergeletak di ruang makan triclinium di ruang makan rumah. Seperti orang lain di Pompeii, mereka menjalani kehidupan sehari-hari mereka ketika bencana melanda. Faktanya, penulis penelitian menulis, lebih dari setengah individu yang ditemukan di Pompeii meninggal di dalam rumah mereka. Ini menunjukkan ketidaksadaran kolektif tentang kemungkinan letusan gunung berapi. Atau risiko tersebut diremehkan karena getaran tanah yang relatif umum di wilayah Pompeii.
Peneliti mengungkap bahwa pria Pompeii memiliki profil genetik yang konsisten dengan populasi Italia tengah pada masa Kekaisaran Romawi. Nenek moyangnya kemungkinan besar datang ke Italia dari Anatolia, atau Asia Kecil, selama Zaman Neolitikum.
Baca Juga: Pernah Hancurkan Dua Kota Romawi, Akankah Vesuvius Meletus Lagi?
Baca Juga: Dahsyatnya Letusan Vesuvius, Hanya Butuh 15 Menit Musnahkan Pompeii
Baca Juga: Terungkap, Begini Penampakan Lapak Kaki Lima 2.000 Tahun Lalu
“Temuan kami menunjukkan bahwa tingkat homogenitas genetik yang nyata ada di semenanjung Italia pada waktu itu. Terlepas dari hubungan yang luas antara Romawi dan populasi Mediterania lainnya,” tulis Gabriele Scorrano, penulis studi tersebut.
Pengujian lebih lanjut menunjukkan pria itu kemungkinan menderita tuberkulosis tulang belakang. Laporan ini menunjukkan bahwa tuberkolosis tulang adalah penyakit umum pada saat itu.
Para ilmuwan telah mencoba mengurutkan DNA Pompeii sebelumnya, tetapi upaya sebelumnya untuk mempelajari lebih dari untaian kecil gagal. Kali ini, mereka berhasil mengurutkan. Akan tetapi mengingat ukuran sampel penelitian yang kecil dan fakta bahwa DNA wanita tidak dapat dianalisis, penelitian lanjutan harus dilakukan.
Para peneliti sekarang berharap untuk menggunakan teknik ini pada sisa-sisa lainnya. Serena Viva, antropolog di Universitas Salento dan salah satu penulis studi, mengungkapkan bahwa penelitian itu tersebut menjawab pertanyaan lama tentang apakah mungkin untuk mengurutkan seluruh genom Pompeii.
“Di masa depan, lebih banyak lagi genom dari Pompeii yang bisa dipelajari,” katanya. “Korban Pompeii mengalami bencana alam, kejutan panas, dan tidak diketahui bahwa Anda dapat melestarikan materi genetik mereka. Studi ini memberikan konfirmasi ini, dan bahwa teknologi baru pada analisis genetik memungkinkan kita untuk mengurutkan genom juga pada materi yang rusak.”
Bagaimana penduduk Pompeii meninggal membuat DNA mereka lebih mungkin untuk diselamatkan, penulis penelitian menegaskan. Mereka mengatakan bahan piroklastik yang dihasilkan selama ledakan vulkanik kemungkinan melindungi tulang dari faktor lingkungan yang menurunkan DNA.
“Salah satu pendorong utama degradasi DNA adalah oksigen (yang lainnya adalah air),” tulis Scorrano. “Suhu bekerja lebih sebagai katalis, mempercepat proses. Oleh karena itu, jika oksigen rendah, ada batas seberapa banyak degradasi DNA dapat terjadi.”
Penelitian baru ini dapat mengungkapkan betapa kayanya kehidupan penduduk Pompeii. Alih-alih menunjukkan betapa tragis dan mendadaknya kematian mereka.
Source | : | Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR