“Temuan kami menunjukkan bahwa tingkat homogenitas genetik yang nyata ada di semenanjung Italia pada waktu itu. Terlepas dari hubungan yang luas antara Romawi dan populasi Mediterania lainnya,” tulis Gabriele Scorrano, penulis studi tersebut.
Pengujian lebih lanjut menunjukkan pria itu kemungkinan menderita tuberkulosis tulang belakang. Laporan ini menunjukkan bahwa tuberkolosis tulang adalah penyakit umum pada saat itu.
Para ilmuwan telah mencoba mengurutkan DNA Pompeii sebelumnya, tetapi upaya sebelumnya untuk mempelajari lebih dari untaian kecil gagal. Kali ini, mereka berhasil mengurutkan. Akan tetapi mengingat ukuran sampel penelitian yang kecil dan fakta bahwa DNA wanita tidak dapat dianalisis, penelitian lanjutan harus dilakukan.
Para peneliti sekarang berharap untuk menggunakan teknik ini pada sisa-sisa lainnya. Serena Viva, antropolog di Universitas Salento dan salah satu penulis studi, mengungkapkan bahwa penelitian itu tersebut menjawab pertanyaan lama tentang apakah mungkin untuk mengurutkan seluruh genom Pompeii.
“Di masa depan, lebih banyak lagi genom dari Pompeii yang bisa dipelajari,” katanya. “Korban Pompeii mengalami bencana alam, kejutan panas, dan tidak diketahui bahwa Anda dapat melestarikan materi genetik mereka. Studi ini memberikan konfirmasi ini, dan bahwa teknologi baru pada analisis genetik memungkinkan kita untuk mengurutkan genom juga pada materi yang rusak.”
Bagaimana penduduk Pompeii meninggal membuat DNA mereka lebih mungkin untuk diselamatkan, penulis penelitian menegaskan. Mereka mengatakan bahan piroklastik yang dihasilkan selama ledakan vulkanik kemungkinan melindungi tulang dari faktor lingkungan yang menurunkan DNA.
“Salah satu pendorong utama degradasi DNA adalah oksigen (yang lainnya adalah air),” tulis Scorrano. “Suhu bekerja lebih sebagai katalis, mempercepat proses. Oleh karena itu, jika oksigen rendah, ada batas seberapa banyak degradasi DNA dapat terjadi.”
Penelitian baru ini dapat mengungkapkan betapa kayanya kehidupan penduduk Pompeii. Alih-alih menunjukkan betapa tragis dan mendadaknya kematian mereka.
Source | : | Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR