Nationalgeographic.co.id—Sebuah kisah sadis dan tragis pernah terjadi di Batavia, 8 April 1722. Tersebutlah dua pemuda, Pieter Erberveld yang berkulit putih berdarah Jerman, dan Raden Kertradria, orang pribumi yang berasal dari Jawa, keturunan Sunan Kalijaga. Kedua orang ini sudah lama dikenal dan disegani penduduk karena sikap-sikapnya yang penuh sopan santun. Keduanya suka membela rakyat.
Pieter Eberveld adalah pemuda yang gigih dan rajin membantu usaha-usaha orang tuanya dalam bidang penyamakan kulit dan pabrik sepatu. Keluarga yang sederhana ini tinggal di dekat sebuah gereja, Gereja Sion, di Jalan Jakarta. Ayahnya berdarah Jerman, tapi ibunya berasal dari Thailand yang bernama Elizabeth Cornelist.
Tak diketahui pasti kapan Pieter dilahirkan. Banyak yang menduga bertepatan dengan tanggal dia dibaptis sebagai seorang Nasrani.
"Hal ini terjadi jauh hari sebelum dia memeluk Islam. Lantaran pergaulannya yang luas dan intens dengan penduduk setempat, kemungkinan dia memutuskan untuk menjadi seorang Muslim," tulis Zaenuddin dalam bukunya, Kisah-Kisah Edan Seputar Djakarta Tempo Doeloe.
Pieter cukup berjasa terhadap penduduk Batavia, yakni memberikan bantuan untuk pembelian senjata, mengkoordinasi serta memberi semangata kepada orang-orang pribumi dalam menentang dan melawan penindasan Belanda dan VOC-nya. Pada awalnya, gerakan Pieter yang berkulit putih tidak pernah dicurigai meski dia sering keluar-masuk benteng VOC. Kesempatan ini dimanfaatkannya sebaik-baiknya untuk memperkuat gerakan politiknya.
Bersama Raden Kertadria serta beberapa tokoh lainnya seperta Kerta Singa, Kerta Naya, Sara Pada, Singa Ita, Tumbar, dan lainnya, Pieter mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia guna membicarakan gerakan mereka melawan kompeni Belanda. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari rakyat.
Suatu hari gerakan mereka hampir mencapai tujuan. Senjata-senjata mereka mulai terkumpul di suatu tempat di luar benteng Belanda. Namun tiba-tiba seorang mata-mata Belanda melihatnya dan melaporkan gerakan rahasia ini.
Mata-mata itu melaporkan bahwa Pieter Erberveld dan teman-temannya telah mengorganisasi suatu gerakan untuk menentang Belanda dengan merencanakan pemberontakan bersenjata terhadap VOC. Akibat laporan ini, Pieter dituding telah berkhianat. Dia bersama Raden Kertadria serta beberapa rekan-rekannya ditangkap pada 23 Januari 1722.
"Di dalam tahanan, mereka disiksa secara kejam oleh tentara Belanda. Kemudian mereka diadili di pengadilan buatan kolonial dan akhirnya dijatuhkan vonis yang mengerikan: hukuman gantung! Konon eksekusi hukuman terhadap mereka berlangsung bengis dan kejam. Sangat mengerikan bila disaksikan," catat Zaenuddin.
Baca Juga: Kisah Nyai Dasima di Batavia dan Hukuman Gantung bagi Pembunuhnya
Baca Juga: Wanita-Wanita Pezina Berdarah Asia yang Dihukum Mati di Batavia
Baca Juga: Catatan Kelam Batavia, Sepuluh Ribu Orang Tionghoa Dibantai Kompeni
Pieter dan Raden Kertadria digantung di tiang salib dalam posisi berdekatan. Daging dan tulang-tulang dari tubuh mereka dipreteli dengan sebatang besi yang panas.
Mayat Raden Kertadria diikatkan ke dua tubuh kuda yang kemudian berlari kencang. Akibatnya, jasadnya tertarik kencang hingg terbelah jadi dua.
"Konon peristiwa ini menjadi asal-muasal nama Kampung 'Pecah Kulit' yang terletak di sekitar Jalan Jakarta. Sehabis mereka, hukuman yang sama juga dilanjutkan terhadap 25 orang pengikut gerakan politik Pieter," tulis Zaenuddin.
Lebih lanjut, rumah keluarga Pieter Erberveld juga dihancurkan. Lalu tengkorak Pieter yang berlumuran darah ditancapkan di atas tembok batu puing-puing rumah tersebut.
Di atas tembok batu itu dituliskan 9 baris kalimat peringatan dalan bahasa Belanda dan di bawahnya terdapat 8 baris huruf Jawa kuno. Tulisan dalam bahasa Belanda itu jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berbunyi seperti ini:
"Catatan dari peringatan (yang) menjijikkan pada si jahil, terhadap negara, yang telah dihukum: PIETER ERBERVELD. Dilarang mendirikan rumah, gedung, atau memasang papan kayu, demikian pula bercocok tanam di tempat ini, sekarang sampai selamanya. Selesai. Batavia, 14 April 1722."
Sisa-sisa dari kisah tragis itu masih ada hingga kini. Monumen peringatan kematian Pieter Erberveld masih berdiri tegak di Museum Taman Prasasti di Jakarta.
Source | : | Kisah-Kisah Edan Seputar Djakarta Tempo Doeloe |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR