Nationalgeographic.co.id—Sejak zaman dulu hingga sekarang, ada banyak kapal tenggelam. UNESCO mencatat, setidaknya ada tiga juta bangkai kapal di dasar laut dari beberapa ribu tahun. Kapal tidak hanya membawa penumpang manusia, tetapi juga barang-barang berharga yang diangkut dari suatu negeri.
Barangkali, itulah yang menginspirasi perburuan harta karun di kapal yang tenggelam. Kerap kali gagasan harta berharga itu justru membuat kerugian pelestarian warisan budaya, dan menyisahakan otoritas dan arkeolog. Alih-alih emas berusia berabad-abad, bangkai kapal lebih banyak ditemukan sekadar kayu basah yang dihuni biota laut.
Tidak ada petunjuk. Lantas, bagaimana penyelam, terutama arkeolog bawah laut, bisa tahu titik lokasi kapal yang karam? Kemudian, bagaimana mereka bisa mengidentifikasi siapa pemiliknya?
Jurnalis sejarah-budaya Erin Blakemore di National Geographic menulis, kapal bisa karam karena ada banyak faktor, mulai dari badai hingga sabotase. Manusia selalu mengira kapal yang dibuatnya layak melaut, setiap kali ada kesalahan pun dievaluasi hingga menciptakan yang lebih layak.
Bangkai kapal cenderung berkerumun di daerah dengan kondisi berbahaya atau terkait dengan sejarah perdagangan atau peperangan.
Misalnya, tahun 2002 dan 2004, tim penyelam Australia berhasil menemukan HNLMS Java, HNLMS De Ruyter, dan HNLMS Kortenaer di Laut Jawa, beberapa kilometer dari Gresik, Jawa Timur. Kapal-kapal itu adalah jejak Belanda dan Sekutu selama Perang Dunia II di Hindia Belanda dan kandas akibat serangan militer Jepang.
Ada banyak pula kapal-kapal lebih tua menunggu terungkap di Laut Jawa. Soalnya, perairan ini sangat penting di masa lalu. Bahkan menjadi jalur mencari rempah dari pulau ke pulau oleh para pedagang dari negeri yang jauh.
Penemuan membutuhkan penyelaman fisik, mengingat ada banyak jumlah bangkai kapal. Kendati terlihat mudah, justru pencari profesional pun butuh keberuntungan untuk menemukannya. Sebab, laut bisa bebrhaya dan hampir tidak ada akses menuju dasar yang dalam.
Seiring waktu, teknologilah yang membantu untuk mencari kapal yang telah lama hilang. Catatan dokumen atau artikel berita di masa lalu bisa menjelaskan lokasinya. Teknik modern seperti sonar gelombang suara dan LiDAR yang menggunakan laser juga memungkinkan untuk pemetaan dasar laut dan objek yang ada.
Citra satelit pun bisa digunakan untuk menunjukkan gumpalan yang dihasilkan bangkai kapal. Atau yang bisa memakan biaya, para ilmuwan bisa menggunakan kecerdasan buatan untuk mencari kapal. Kecerdasan buatan terbukti 92 persen efektif mengidentifikasi bangkal kapal dan citra yang diambil di atas maupun di bawah air.
"Setelah lokasi potensial ditemukan, kendaraan otonom modern dapat membantu peneliti menemukan dan mendokumentasikan bangkai kapal," tulis Blakemore.
Para peneliti bisa menggunakan kapal selam air robot yang bisa bertahan di dalam air untuk menemukan bangkai kapal, mengambil visualnya, dan membuat pemetaan. Bahkan cara ini dapat menilai komposisi kimia dari bangkai kapal tanpa harus menyelam ke dasar.
Dokumen terkait peristiwa tidak hanya memberi tahu lokasi, tetapi juga bisa menjelaskan tentang siapa pemilik kapal yang karam. Misalnya, kapal Van Der Wijck, punya dokumen yang menjelaskan tentang tinggi, berat, dan spesifikasinya. Kabar dari De Telegraaf juga mengabarkan tentang lokasi tenggelamnya di Perairan Lamongan, 12 mil dari Pantai Brondong pada Kamis 22 Kotober 1936.
Baca Juga: Arkeolog Menemukan Galangan Kapal Zaman Viking yang Unik di Birka
Baca Juga: Selidik Tiga Juta Bangkai Kapal Karam di Dasar Laut di Seluruh Dunia
Baca Juga: Dua Bangkai Kapal Berusia Ratusan Tahun Ditemukan di Laut Singapura
Baca Juga: Nasib Kapal-Kapal Kuno yang Tenggelam di Jalur Rempah Nusantara
Jika seandainya tidak ada catatan karena kapal berasal dari masa yang sangat lampau, para peneliti bisa menganalisis dari ciri fisik. Biasanya setiap negara dan budaya punya gaya pembuatan kapal yang berbeda-beda. Misal, kapal gaya bangsa Viking bentuknya ramping dan panjang. Usianya bisa diketahui dengan tes kimia di laboratorium dengan mengambil bagian tertentu.
Secara kepemilikan, kapal tenggelam dimiliki oleh negara asalnya, bukan di mana ia tenggelam. Semua diatur dalam hukum internasional, dan negara tempat suatu kapal tenggelam pun harus menjaganya.
Anda masih bisa mengunjungi tempat kapal karam. Beberapa situs seperti Mandeh, Sumatra Barat membuka wisata untuk melihat kapal karam. Pahami juga, tak semua situs bisa dikunjungi sembarangan karena menjadi kawasan konservasi seperti situs kapal karam HMAS Perth di Banten.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR