Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi yang menggunakan fosil cangkang tiram sebagai paleotermometer menemukan bahwa laut dangkal yang menutupi sebagian besar Amerika Utara bagian barat 95 juta tahun lalu sama hangatnya dengan daerah tropis saat ini. Studi ini digarap oleh para peneliti dari University of Michigan.
Studi ini memberikan data suhu langsung pertama dari laut lintang tengah yang luas selama puncak Maksimum Termal Kapur. Ini adalah periode dari salah satu interval iklim terpanas di planet ini selama beberapa ratus juta tahun terakhir.
Temuan tersebut, yang telah dipublikasikan secara daring pada 9 Mei 2022 di jurnal Geology, juga mengisyaratkan apa yang mungkin terjadi untuk generasi mendatang kecuali jika emisi gas rumah kaca yang memerangkap panas dikendalikan. Pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim dapat membuat iklim di Amerika Utara kembali sepanas Bali.
"Data ini menunjukkan bahwa interior Amerika Utara selama puncak rumah kaca Kapur sama hangatnya dengan kondisi terpanas di daerah tropis modern—bayangkan iklim Bali, Indonesia, di tempat-tempat seperti Utah atau Wyoming," ujar Matt Jones, penulis utama studi tersebut. Jones adalah mantan peneliti pascadoktoral University of Michigan (UM) yang sekarang bekerja di Museum Nasional Sejarah Alam Smithsonian Institution.
Studi ini menemukan bahwa suhu air rata-rata di Western Interior Seaway selama pertengahan Kapur berkisar antara 28 hingga 34 derajat Celsius. Suhu ini sehangat suhu ekstrem tropis modern seperti Kolam Hangat Indo-Pasifik, yang secara konsisten menunjukkan suhu air tertinggi di atas bentangan terbesar di permukaan bumi.
Konsentrasi karbon dioksida atmosfer di pertengahan Kapur masih menjadi topik perdebatan di antara para peneliti, tetapi banyak penelitian telah menunjukkan tingkat lebih dari 1.000 bagian per juta (ppm). Tingkat saat ini sedikit di atas 420 ppm tetapi bisa melampaui 1.000 pada akhir abad ini kecuali emisi bahan bakar fosil dibatasi, menurut para ilmuwan iklim.
"Temuan baru ini membantu mengungkapkan suhu di Amerika Utara selama interval puncak kehangatan rumah kaca di masa lalu geologis, yang pada gilirannya dapat membantu kita memprediksi dengan lebih baik seberapa hangat Bumi di masa depan di bawah proyeksi kondisi CO2 atmosfer yang lebih tinggi," kata Sierra Petersen, ahli geokimia dan asisten profesor di Departemen Ilmu Bumi dan Lingkungan UM yang juga menjadi salah satu peneliti dalam studi ini.
Untuk menentukan seberapa panas Amerika Utara selama puncak rumah kaca Kapur 95 juta tahun yang lalu, para peneliti menganalisis 29 cangkang tiram yang terpelihara dengan baik dari koleksi fosil Badan Geologi AS.
Fosil-fosil tersebut berasal dari singkapan batupasir dan serpih di Wyoming, Colorado, Utah, New Mexico, dan Arizona. Kelimanya merupakan lokasi-lokasi yang berada pada garis lintang yang sama seperti saat ini tetapi berada di bawah air selama era Kapur. Pada saat itu, Western Interior Seaway membentang dari Teluk Meksiko ke Kutub Utara dan dari Utah hingga Iowa saat ini.
Fosil-fosil yang dikumpulkan di seluruh bagian barat AS menunjukkan bahwa jalur laut itu penuh dengan kehidupan laut termasuk kerang besar, ammonit bercangkang spiral, dan jenis tiram yang sudah punah. Para dinosaurus dulunya juga berkeliaran di dataran-dataran pantai yang berdekatan itu.
Baca Juga: Gunung Es Seluas Pulau Bali dan Seberat 1 Triliun Ton Mencair Hilang
Baca Juga: Perubahan Iklim Turut Menurunkan Kedatangan Turis di Indonesia?
Baca Juga: Peregangan Benua Telah Memicu Peristiwa Pemanasan Global Kuno
Dalam studi ini, para peneliti menggunakan fosil cangkang tiram yang dikumpulkan selama beberapa dekade oleh Bill Cobban, salah satu ahli paleontologi Amerika terkemuka abad ke-20, dan rekan-rekannya. Saat tiram tumbuh, cangkangnya menggabungkan berbagai bentuk, atau isotop, dari unsur oksigen dan karbon, dalam rasio yang menunjukkan suhu air laut di sekitarnya.
Dengan bor Dremel kecil, Jones mengambil sampel cangkang fosil dan mengumpulkan bubuk kalsit. Menggunakan spektrometer massa mutakhir di laboratorium UM Petersen, para peneliti mengukur rasio isotop karbon dan oksigen. Secara khusus, mereka melihat terbentuknya isotop karbon berat karbon-13 dan isotop oksigen berat oksigen-18, dan seberapa sering mereka ditemukan terikat bersama dalam struktur kristal kalsit.
Frekuensi ikatan dua isotop berat ini, yang disebut penggumpalan isotop, sangat sensitif terhadap suhu sekitar ketika mineral terbentuk. Hal ini memungkinkan para ilmuwan untuk merekonstruksi suhu masa lalu melalui teknik yang baru dikembangkan yang disebut paleotermometri isotop yang menggumpal.
"Banyak generasi ahli geologi telah mempelajari paleontologi dan stratigrafi dari Western Interior Seaway, memberikan ide yang berbeda tentang iklim masa lalu dan dasar pengetahuan yang memungkinkan penelitian ini," kata Jones seperti dilansir EurekAlert!. "Namun, tidak ada pengukuran paleotermometer langsung—sampai sekarang—dari pedalaman Amerika Utara untuk puncak dunia rumah kaca Kapur ini."
"Kekurangan catatan ini telah menghalangi pemahaman yang kuat tentang evolusi suhu Amerika Utara selama era Kapur dan pengaruh suhu pada biota laut benua di jalur laut (seaway) itu, serta pada fauna darat seperti dinosaurus yang menghuni dataran-dataran pantai yang berdekatan itu."
Data Amerika Utara dari studi baru ini konsisten dengan studi-studi sebelumnya yang menggunakan teknik paleotermometri isotop oksigen tradisional di lokasi laut terbuka secara global, menurut para peneliti. Studi-studi sebelumnya, yang mengukur rasio isotop stabil oksigen, menyimpulkan suhu permukaan laut pada suhu tinggi 20-an Celsius dari sub-Antartika hingga pertengahan 30-an Celsius dari daerah tropis dan selatan garis lintang tengah.
Selain temuan spesifik yang mengukur kehangatan global masa lalu di Western Interior Seaway, studi baru ini juga menunjukkan bagaimana teknik geokimia khusus ini dapat digunakan untuk mengungkapkan kondisi iklim di masa lalu.
"Bahkan setelah bekerja dengan paleotermometer isotop yang menggumpal selama 15 tahun, masih menakjubkan bagi saya bahwa, dengan sampel yang tepat, pada dasarnya kita dapat mencelupkan termometer ke dalam lautan berusia 95 juta tahun dan mengetahui betapa hangatnya itu," kata Petersen.
"Jika kita ingin dapat memprediksi dengan lebih baik bagaimana kehidupan yang berbeda di Bumi dapat merespons pemanasan di masa depan, perkiraan suhu konkret di periode hangat masa lalu dapat membantu kita menetapkan batas atas kemampuan bertahan hidup."
Source | : | eurekalert.org |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR