Nationalgeographic.co.id—Badu Bonsu II adalah seorang raja Ghana yang memimpin suku Ahanta. Suku Ahanta yang dipimpin oleh Bonsu, tinggal di dekat Pantai Emas Belanda dan secara teratur memulai perdagangan.
Namun, sumber sejarah mengungkapkan bahwa pada tahun 1837, Badu Bonsu memberontak melawan pemerintah Belanda ketika dia mengetahui niat Belanda yang telah membunuh banyak pejabat lokal.
Yewande Ade menulis kepada History of Yesterday dalam artikel berjudul The Man Whose Life Was Taken Because He Rebelled Against The Dutch yang terbit pada 7 Juli 2022.
Ia menyebut bahwa "dia tidak senang dengan cara Belanda ikut campur dan terlibat dalam urusan sukunya." Karena kegeramannya itu, Bonsu mengerahkan prajuritnya dan memberontak melawan pemerintah Belanda.
Ia mengetahui juga bahwa Belanda menggunakan perjanjian Butre sebagai dasar untuk mengeksploitasi orang Ahanta. Setelah menunjukkan ketidakpuasannya dengan beberapa persyaratan perjanjian, hubungannya dengan pejabat Belanda menjadi tidak bersahabat. Selama sekitar delapan tahun, Bonsu berselisih dengan Belanda.
Sesaat setelah Belanda mengendalikan Ahanta, krisis ekonomi terjadi. Akibatnya, pemimpin Ahanta itu pun semakin geram dan bertekad agar dua utusan Belanda itu dibunuh, dan "kepala mereka digantung di singgasananya sebagai piala," imbuhnya.
Setelah terbunuhnya utusan-utusan Belanda, para pejabat kolonial itu bersumpah untuk membalas kematian rekan-rekan mereka. Akibatnya, nyawa Bonsu direnggut karena dua orang Belanda yang dibunuhnya.
Seorang perwira kolonial Belanda dan seorang komandan pelaksana, Hendrik Tonneboeijer, menjadi marah setelah tindakan pemberontakan Bonsu. Dia menjadi sangat marah sehingga sebagai balasannya, dia membalas dendam.
Namun, upaya Hendrik untuk menangkap Bonsu gagal karena dia dan pasukannya dibunuh oleh pasukan Bonsu. Pasukan itu membunuh sekitar 45 orang dan Hendrik termasuk di antara mereka.
Setelah pembunuhan tragis kepada Hendrik, pemerintah Belanda mengandalkan Perjanjian Butre sebagai dasar aksi militer melawan Bonsu. Mereka mengirim pasukan ekspedisi yang lebih besar ke Ahanta.
"Perang pun terjadi dan Bonsu ditangkap, dihukum karena pembunuhan dan kemudian digantung," terus Ade. Setelah kematiannya, seorang ahli bedah Belanda mengangkat kepalanya dan dikirim ke Belanda di mana ia disimpan selama lebih dari satu abad.
Seorang penulis Belanda, Arthur Japin, adalah orang yang menemukan kepala mendiang Bonsu. Kepala itu disimpan dalam botol formaldehida di laboratorium pusat medis Universitas Leiden.
Ketika beberapa pejabat pemerintah di Ghana mengetahui di mana kepala Bonsu berada, mereka meminta agar kepala itu dikembalikan karena mendiang kepala suku itu layak dikuburkan secara bermartabat.
Pada 24 Juli 2009, kepala mendiang Bonsu dibawa ke Ghana setelah upacara singkat di Belanda, di mana kepala itu disimpan selama lebih dari 170 tahun. Beberapa keturunan Bonsu dan kepala suku lainnya menjadi bagian dari delegasi yang pergi untuk mengambil kepala.
Sebuah perjanjian ditandatangani untuk serah terima kepala dan di sana di ruang konferensi, para pemimpin suku Ahanta telah mengadakan upacara ritual untuk mendiang raja.
Source | : | History of Yesterday |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR