Nationalgeographic.co.id—Berdasarkan lukisan-lukisan pertengahan abad ke-19, kegiatan mencuci di kalangan pekerja rumah tangga keluarga Belanda dilakukan oleh para jongos pribumi. Orang-orang Belanda yang tak mampu mengurusi urusan rumah tangganya, membuka pekerjaan bagi pribumi sebagai pembantu rumah tangga mereka. Mulai dari djongos hingga wasbaboe dipekerjakan.
"Peran wasbaboe atau babu cuci ini menarik, bila dikaitkan dengan siapa yang sebenarnya melakukan pekerjaan ini sehari-hari," tulis Achmad Sunjayadi dalam jurnal Abad berjudul Pelayan Pribumi Dalam Akomodasi Turisme Di Hindia Belanda terbit pada 2018.
Namun, Sunjayadi menegaskan dalam tulisannya bahwa wasbaboe dan baboe memiliki penafsiran yang berbeda. Jika wasbaboe lekat sebagai buruh cuci dalam rumah tangga orang Belanda, baboe lebih dekat dengan pramusaji hotel.
Adapun baboe dalam rumah tangga Belanda, mereka bekerja lebih keras dari wasbaboe. Mereka membersihkan rumah juga berlaku untuk mengurusi bayi dan anak-anak majikannya.
Menariknya, dari beragam lukisan yang ada di tahun 1851, 1853, dan 1857, tidak terlihat sosok wasbaboe. Sebaliknya, para jongos (laki-laki) yang mencuci kerap muncul dalam lukisan-lukisan itu. Hal itu mungkin dapat dijelaskan karena mencuci dengan cara yang berlaku saat itu merupakan pekerjaan yang sangat membutuhkan tenaga yang besar.
"Pekerjaan itu lebih cocok dilakukan oleh laki-laki. Ya, diperkirakan peran wasbaboe dimainkan juga oleh para laki-laki," tambahnya. Namun, ada perdebatan yang terjadi jika melihat sebuah foto yang datang dari abad ke-20 yang menggambarkan wasbaboe.
Dalam foto tersebut, terlihat peran wasbaboe dimainkan oleh seorang wanita. Berbagai pertanyaan muncul sehubungan dengan aktivitas mencuci tersebut. Antara lain sejak kapan dan mengapa dalam kehidupan sehari-hari pekerjaan mencuci di kalangan pekerja rumah tangga itu beralih kepada perempuan?
Salah satu kemungkinan jawaban untuk pertanyaan tersebut dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari sampai dengan beberapa dekade awal abad ke-19.
Pergantian tugas mencuci dari laki-laki ke perempuan di kalangan pekerja rumah tangga baru terjadi ketika para orang kaya yang mempekerjakan mereka mulai memiliki sumur sendiri di rumah.
"Pakaian majikan Belanda mereka tidak lagi dicuci di kanal atau sungai karena alasan kebersihan, kesehatan, atau alasan sosial lainnya seiring dengan perubahan mutu air kanal atau sungai," lanjutnya.
Mereka telah menjadi pembantu yang bertugas membersihkan dan mencuci seluruh pakaian majikan Belandanya.
Sebagaimana ditulis dalam Wonen en leven in Nederlandsch-Indie (1870), Wasbaboe akan datang pagi hari sekitar pukul 6, jika dia tidak tinggal di rumah orang Belanda, pagi-pagi benar dia harus berangkat dari kampungnya ketika masih gelap.
Setelah sampai, segera mereka mencuci seluruh pakaian di dekat sumur-sumur majikannya, lalu menjemurnya ketika matahari sudah mulai naik menghangatkan seluruh jemurannya.
Sunjayadi menyebut bahwa hubungan wasbaboe pribumi dengan majikannya berlangsung secara tradisi, atau juga karena takutnya pribumi kehilangan pekerjaannya. Bagaimanapun, para wasbaboe juga mendapat upah.
Tradisi itu terus bertahan hingga Indonesia merdeka. Bahkan, sampai saat ini, wasbaboe telah menjadi bagian dari dunia modern dan pelayanan jasa cuci yang lebih profesional.
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo
Source | : | jurnal Abad |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR