Nationalgeographic.co.id - Potongan plastik besar dapat terurai menjadi partikel berukuran nano yang sering kali masuk ke dalam tanah dan air. Mungkin yang kurang terkenal adalah mereka juga bisa melayang di udara.
Tidak jelas bagaimana nanoplastik berdampak pada kesehatan manusia, tetapi penelitian pada hewan menunjukkan bahwa mereka berpotensi berbahaya. Sebagai langkah menuju pemahaman yang lebih baik tentang prevalensi nanoplastik di udara. Para peneliti telah mengembangkan sensor yang mendeteksi partikel-partikel ini dan menentukan jenis, jumlah, serta ukuran plastik menggunakan film titik karbon berwarna-warni.
Para peneliti mempresentasikan hasil mereka ini pada pertemuan musim gugur American Chemical Society (ACS).
"Nanoplastik menjadi perhatian utama jika berada di udara yang Anda hirup, masuk ke paru-paru dan berpotensi menyebabkan masalah kesehatan," kata Raz Jelinek, peneliti utama proyek tersebut. "Detektor sederhana dan murah seperti milik kita dapat memiliki implikasi besar. Suatu hari nanti akan mengingatkan orang akan keberadaan nanoplastik di udara, memungkinkan mereka untuk mengambil tindakan."
Jutaan ton plastik diproduksi dan dibuang setiap tahun. Beberapa bahan plastik perlahan terkikis saat digunakan. Atau setelah dibuang, mencemari lingkungan sekitar dengan partikel berukuran mikro dan nano. Nanoplastik sangat kecil—umumnya lebarnya kurang dari 1 μm (micrometer)—dan ringan sehingga bahkan bisa mengapung di udara. Orang kemudian tanpa sadar menghirupnya.
Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa menelan dan menghirup nanopartikel ini mungkin memiliki efek merusak. Oleh karena itu, dapat membantu untuk mengetahui tingkat polusi nanoplastik di udara dan lingkungan.
Sebelumnya, tim peneliti Jelinek di Universitas Ben-Gurion Negev mengembangkan hidung elektronik atau "e-nose" untuk memantau keberadaan bakteri. Melalui cara menyerap dan merasakan kombinasi unik molekul uap gas yang mereka lepaskan. Para peneliti ingin melihat apakah teknologi berbasis titik karbon yang sama ini dapat diadaptasi untuk membuat sensor nanoplastik yang sensitif untuk pemantauan lingkungan berkelanjutan.
“Titik karbon terbentuk ketika bahan awal yang mengandung banyak karbon, seperti gula atau bahan organik lainnya, dipanaskan pada suhu sedang selama beberapa jam,” kata Jelinek. Proses ini bahkan dapat dilakukan dengan menggunakan mikrogelombang konvensional. Selama pemanasan, bahan yang mengandung karbon berkembang menjadi partikel berukuran nanometer yang berwarna-warni dan sering berpendar yang disebut "titik karbon". Dengan mengubah bahan awal, titik-titik karbon dapat memiliki sifat permukaan yang berbeda yang dapat menarik berbagai molekul.
Baca Juga: Peneliti: Partikel Plastik Memenuhi Perut Hewan Laut Dalam Enam Jam
Baca Juga: Parasit Berbahaya Buat Manusia Bisa Menumpang Lewat Mikroplastik
Baca Juga: Terus Bertambah, Jumlah Mikroplastik di Lautan Mencapai 24,4 Triliun
Untuk membuat e-nose bakteri, tim menyebarkan lapisan tipis titik karbon yang berbeda ke elektroda kecil. Masing-masing seukuran kuku. Mereka menggunakan elektroda interdigitated, yang memiliki dua sisi dengan struktur seperti sisir diselingi. Di antara kedua sisi, medan listrik berkembang, dan muatan yang tersimpan disebut kapasitansi. "Ketika sesuatu terjadi pada titik-titik karbon—baik mereka menyerap molekul gas atau potongan nanoplastik—maka ada perubahan kapasitansi, yang dapat kita ukur dengan mudah," kata Jelinek.
Kemudian para peneliti menguji sensor proof-of-concept untuk nanoplastik di udara. Memilih titik karbon yang akan menyerap jenis plastik umum—polistirena, polipropilen, dan poli(metil metakrilat).
“Dalam percobaan, partikel plastik berskala nano di aerosol, membuatnya melayang di udara. Dan ketika elektroda yang dilapisi dengan film titik karbon terpapar nanoplastik di udara, tim mengamati sinyal yang berbeda untuk setiap jenis bahan,” kata Jelinek. “Karena banyaknya nanoplastik di udara memengaruhi intensitas sinyal yang dihasilkan.”
Jelinek menambahkan bahwa saat ini sensor dapat melaporkan jumlah partikel dari jenis plastik tertentu baik di atas maupun di bawah ambang batas konsentrasi yang telah ditentukan. Selain itu, ketika partikel polistiren dalam tiga ukuran—lebar 100 nm, lebar 200 nm, dan lebar 300 nm—di aerosol, intensitas sinyal sensor secara langsung berhubungan dengan ukuran partikel.
Langkah tim selanjutnya adalah melihat apakah sistem mereka dapat membedakan jenis plastik dalam campuran partikel nano. Sama seperti kombinasi film titik karbon di e-nose bakteri yang membedakan antara gas dengan polaritas yang berbeda. “Kemungkinan mereka dapat mengubah sensor nanoplastik untuk membedakan antara jenis dan ukuran tambahan nanoplastik. Kemampuan untuk mendeteksi plastik yang berbeda berdasarkan sifat permukaannya akan membuat sensor nanoplastik berguna untuk melacak partikel ini di sekolah, gedung perkantoran, rumah dan di luar ruangan,” kata Jelinek.
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo
Source | : | Phys.org |
Penulis | : | Wawan Setiawan |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR