“Hari terakhir adalah hari gajah, di mana ada banyak keheranan di pihak orang banyak yang vulgar. Akan tetapi tidak ada kesenangan apa pun. Bahkan ada perasaan welas asih tertentu muncul dan keyakinan bahwa hewan itu memiliki kesamaan dengan umat manusia,” tulis Cicero.
Plinius yang Tua pun turut menyuarakan kesedihannya,
“Ketika gajah-gajah telah kehilangan semua harapan untuk melarikan diri, mereka mencoba untuk mendapatkan belas kasihan dari orang banyak. Mereka melakukan gerakan permohonan yang tak terlukiskan, menyesali nasib dengan semacam ratapan.”
Pertunjukan hewan buas yang berdarah terus berlanjut meski banyak cemoohan
Tontonan perburuan gajah yang diselenggarakan oleh Pompeius memicu respons emosional dari orang banyak. Namun itu tidak menjadi akhir dari venationes. Faktanya, selama awal Kekaisaran Romawi, pertunjukan hewan mencapai skala baru yang mengejutkan.
Dalam otobiografinya Res Gestae, Augustus mengeklaim memiliki 3.500 hewan Afrika yang dibunuh di 26 venationes selama masa pemerintahannya. Satu abad kemudian, Kaisar Titus meresmikan Colosseum dengan seratus hari tontonan di mana 5.000 binatang buas dibunuh. Dan dalam permainan umum yang diadakan dari tahun 108 hingga 109 Masehi, kaisar Trajan mengatur agar 11.000 hewan bertarung di arena.
Venationes menampilkan spesies lokal seperti banteng dan anjing. Selain itu juga hewan eksotis, terutama yang berasal dari Afrika dan bagian timur Kekaisaran Romawi.
Bagi penonton, hewan yang berasal dari Afrika ini jauh lebih menarik. Terlebih lagi, orang-orang Romawi tampaknya kurang tertarik untuk membiakkan hewan eksotis di rumah. Hewan yang ditangkap di alam liar dianggap jauh lebih berbahaya, lebih berharga, dan lebih menarik.
Dalam bukunya Spectacles of Death in Ancient Rome, sejarawan Donald Kyle menjelaskan,
“Hewan eksotis mendapat perlakuan khusus dengan penanganan dan pendamping ahli untuk memastikan kesehatan dan kesiapan untuk tampil. Hewan itu ditampilkan dan disimpan di kebun binatang.”
Pengangkutan hewan eksotis jadi bisnis menguntungkan
Source | : | The Atlantic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR