Nationalgeographic.co.id - Perdagangan hewan eksotis tidak terjadi di zaman modern saja. Praktik ini sudah dilakukan bahkan sejak zaman Romawi kuno. Orator Romawi Marcus Tullius Cicero mencoba mengabaikan permintaan mantan klien hukumnya Marcus Caelius Rufus. Dalam beberapa surat yang dikirim selama lebih dari satu tahun, Caelius berulang kali memohon kepada Cicero. Untuk apa? Ia meminta Cicero untuk mengiriminya sejumlah macan tutul lokal.
Konon, hewan liar itu dibutuhkan untuk memulai karir politiknya. Menurutnya, tidak ada yang dapat memenangkan hati pemilih lebih baik daripada perburuan hewan eksotis di arena. Lawan Caelius, Curio, tidak kesulitan mengumpulkan hewan eksotis dari teman gubernurnya. Lantas mengapa Cicero tidak bisa melakukan hal yang sama?
Cicero menjelaskan bahwa ia tidak nyaman mengambil keuntungan dari posisinya dengan cara ini. “Saya telah mengatakan bahwa tidak sesuai dengan karakter saya. Orang-orang Cibyra harus berburu untuk kepentingan pribadi saya sebagai gubernur.”
Caelius pun makin menjadi dan mengirimkan ancaman samar kepada sahabatnya itu. Tidak mempan, sang gubernur menanggapinya denga kasar:
“Tentang macan tutul, para pemburu profesional sibuk berburu atas perintah saya. Namun ada kelangkaan yang luar biasa dari binatang buas. Konon, macan tutul mengeluh dengan pahit bahwa mereka adalah satu-satunya makhluk hidup di provinsi saya yang menjadi sasaran bahaya.”
Tontonan publik yang berdarah dan melibatkan binatang eksotis menjadi bagian penting dari budaya Romawi
Tontonan publik berdarah yang menampilkan binatang sudah menjadi bagian penting dari budaya Romawi. Salah satu jenis pertunjukan binatang buas adalah damnatio ad bestias atau eksekusi oleh binatang buas.
Hewan liar yang merobek-robek para narapidana menjadi tontonan yang cukup menarik. Namun itu bukan satu-satunya kegunaan hewan liar nan eksotis bagi orang Romawi. Orang Romawi juga menyukai pertunjukan venationes atau berburu. Ini adalah pertunjukan di mana hewan bertarung dengan manusia atau hewan buas lainnya.
Baca Juga: Eksekusi Mengerikan bak Pertunjukan yang Menghibur di Koloseum
Baca Juga: Cara Orang Romawi Bawa Hewan Buas Ke Colosseum, Ini Penjelasannya
Venatio bertahan hingga hari ini dalam bentuk adu banteng Spanyol. Seperti adu banteng modern, venatio kuno pun mendapatkan kritik. Lagi-lagi Cicero menyuarakan pendapatnya. Ia menganggap praktik itu menarik bagi bagian terburuk dari sifat manusia.
Dalam sebuah surat, sang orator menggambarkan satu venatio yang begitu brutal. Saking brutalnya, bahkan masyarakat Romawi yang haus darah pun tidak menikmatinya. Perburuan ini diadakan oleh Pompeius yang Agung.
“Hari terakhir adalah hari gajah, di mana ada banyak keheranan di pihak orang banyak yang vulgar. Akan tetapi tidak ada kesenangan apa pun. Bahkan ada perasaan welas asih tertentu muncul dan keyakinan bahwa hewan itu memiliki kesamaan dengan umat manusia,” tulis Cicero.
Plinius yang Tua pun turut menyuarakan kesedihannya,
“Ketika gajah-gajah telah kehilangan semua harapan untuk melarikan diri, mereka mencoba untuk mendapatkan belas kasihan dari orang banyak. Mereka melakukan gerakan permohonan yang tak terlukiskan, menyesali nasib dengan semacam ratapan.”
Pertunjukan hewan buas yang berdarah terus berlanjut meski banyak cemoohan
Tontonan perburuan gajah yang diselenggarakan oleh Pompeius memicu respons emosional dari orang banyak. Namun itu tidak menjadi akhir dari venationes. Faktanya, selama awal Kekaisaran Romawi, pertunjukan hewan mencapai skala baru yang mengejutkan.
Dalam otobiografinya Res Gestae, Augustus mengeklaim memiliki 3.500 hewan Afrika yang dibunuh di 26 venationes selama masa pemerintahannya. Satu abad kemudian, Kaisar Titus meresmikan Colosseum dengan seratus hari tontonan di mana 5.000 binatang buas dibunuh. Dan dalam permainan umum yang diadakan dari tahun 108 hingga 109 Masehi, kaisar Trajan mengatur agar 11.000 hewan bertarung di arena.
Venationes menampilkan spesies lokal seperti banteng dan anjing. Selain itu juga hewan eksotis, terutama yang berasal dari Afrika dan bagian timur Kekaisaran Romawi.
Bagi penonton, hewan yang berasal dari Afrika ini jauh lebih menarik. Terlebih lagi, orang-orang Romawi tampaknya kurang tertarik untuk membiakkan hewan eksotis di rumah. Hewan yang ditangkap di alam liar dianggap jauh lebih berbahaya, lebih berharga, dan lebih menarik.
Dalam bukunya Spectacles of Death in Ancient Rome, sejarawan Donald Kyle menjelaskan,
“Hewan eksotis mendapat perlakuan khusus dengan penanganan dan pendamping ahli untuk memastikan kesehatan dan kesiapan untuk tampil. Hewan itu ditampilkan dan disimpan di kebun binatang.”
Pengangkutan hewan eksotis jadi bisnis menguntungkan
Menangkap dan mengangkut hewan hidup dari negeri yang jauh adalah bisnis yang menguntungkan di provinsi Romawi. Beberapa teks kuno menjelaskan metode yang digunakan oleh pemasok binatang buas.
Baca Juga: Eksekusi Gajah, Metode Hukuman Mati Era Kuno yang Mengerikan
Baca Juga: Nestapa Hewan-Hewan Buas Jadi Komoditas Tontonan Publik Romawi
Plinius menceritakan bagaimana para pemburu Afrika menangkap gajah hidup, yang digunakan dalam venationes. Orang-orang yang menunggang kuda akan mengejar gajah-gajah itu ke dalam lubang. Di sana, hewan-hewan itu akan dibiarkan tanpa makanan atau air sampai mereka cukup kehabisan tenaga. Setelah kehabisan tenaga, gajah diangkut tanpa terlalu banyak kesulitan.
Dalam bukunya tentang berburu, penulis abad ke-2 Oppian menjelaskan bagaimana beruang hidup ditangkap di wilayah Armenia. Setelah mengidentifikasi sarang beruang dengan bantuan anjing, pemburu akan mengusir hewan-hewan itu dengan suara terompet dan simbal yang hiruk-pikuk.
Begitu beruang itu keluar di tempat terbuka dan bingung, pemburu mengejarnya ke jaring tersembunyi yang disiapkan sebelumnya. Ini berbahaya sebab beruang akan mengamuk dengan rahang dan cakar yang mengerikan.
Anggota terkuat dari tim pemburu akan beraksi untuk menahan beruang dengan mengikat anggota tubuhnya ke papan kayu. Pada titik ini, beruang yang cacat dan kelelahan dimasukkan ke dalam kandang kayu untuk diangkut.
Oppian juga berbagi dua cara berbeda untuk menjebak singa. Di wilayah Libya, para pemburu menggunakan metode yang mirip dengan perburuan gajah. Begitu seekor singa terperangkap di dalam lubang, para pemburu akan menurunkan kandang yang berisi daging.
Singa akan melompat dengan sukarela, sangkar akan ditutup dan diangkat keluar dari lubang. “Singa yang terperangkap akan dikirim,” tulis Oppian.
Kecintaan orang Romawi akan binatang buas pun dituangkan dalam beragam mosaik. Contoh paling spektakuler berasal dari abad ke-4 Masehi di Villa Romana del Casale di Piazza Armerina, Sisilia. Mosaik Big Game Hunt membentang di hampir seluruh panjang vila, mendominasi area umum rumah mewah itu.
Tampaknya kesukaan manusia akan hewan liar nan eksotis tidak berhenti di zaman Romawi. Kebiasaan ini terus berlanjut hingga kini dan tidak jarang menyebabkan kepunahan beberapa jenis hewan.
Source | : | The Atlantic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR