Nationalgeographic.co.id - Perubahan iklim memiliki dampak pada semua makhluk hidup di bumi. Tak terkecuali pada dunia hewan.
Jurnalis sains Ed Yong pernah menulis di National Geographic bahwa perubahan iklim bukan hanya tentang pemanasan permukaan dan pencairan glasial. Karbon dioksida yang dipompa oleh aktivitas manusia ke atmosfer juga larut di lautan dunia sehingga perlahan-lahan meningkatkan keasamannya dari waktu ke waktu.
"Dan itu menimbulkan masalah bagi karang," tegas Yong. Kelompok karang, seperti jenis karang otak yang ada dalam gambar di atas misalnya, jadi lebih sulit membangun cangkangnya di air asam.
Karang mungkin tampak seperti batu yang tidak bergerak, tetapi benteng keras ini adalah rumah bagi hewan bertubuh lunak. Makhluk-makhluk ini, yakni polip karang, membangun terumbu karang kalsium karbonat mereka yang kuat menggunakan ion karbonat yang diambil dari air di sekitarnya.
Tetapi ketika tingkat pH atau keasaman air turun, ion-ion ini menjadi habis dan karang mulai kehabisan mortar kimianya. Akibatnya, di air asam, karang sulit membangun rumahnya.
Para ilmuwan telah memperkirakan bahwa jika tingkat karbon dioksida berlipat ganda, kekuatan pembentuk terumbu karang dunia bisa turun hingga 80%. Jika polip-polip karang tidak dapat membangun kembali cukup cepat untuk menyamai proses alami pembusukan dan erosi, terumbu akan mulai menghilang.
Maoz Fine dan Dan Tchernov dari Interuniversity Institute of Marine Science, Israel, telah menemukan bahwa polip-polip karang itu memiliki cara untuk mengatasi kondisi asam ini. Dalam risetnya, mereka menumbuhkan beberapa fragmen dari dua spesies karang Eropa dalam kondisi normal Mediterania, dan yang lainnya dalam air yang sedikit lebih asam, hanya dengan nilai 0,7 unit pH.
Spesies-spesies karang yang menghabiskan satu bulan di tangki asam dengan cepat berubah. Kerangka itu larut dan koloni itu terbelah.
Polip-polip yang terbuka dan soliter, tampak seperti anemon laut kecil, masih menempel pada permukaan berbatu. Ketika keadaan menjadi sulit, bagian yang keras itu berubah menjadi lunak.
Baca Juga: Dunia Hewan: Kenapa Ekor Cecak yang Putus Masih Bisa Bergerak?
Baca Juga: Dunia Hewan: Mengapa Lalat Suka Makan Tahi, tapi Tidak Sakit?
Baca Juga: Proyeksi Mengkhawatirkan Kondisi Terumbu Karang Dunia pada 2035
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR