Nationalgeographic.co.id—Ada beberapa fakta menarik di balik nikmatnya mengonsumsi panganan daging sapi yang kita gemari.
Dimulai dari sejarah asalnya sapi. Nenek moyang sapi adalah auroch, binatang yang dikenal kuat, pintar, dan sangat gesit. Julius Caesar dalam karyanya pernah mengatakan ketakutannya bertemu dengan auroch di alam liar. Orang Romawi kuno kadang membawa auroch ke Colloseum untuk bertarung melawan gladiator.
Di satu sisi, orang-orang Romawi kuno mulai memerah dan mengonsumsi susu auroch. Lambat laun, auroch mulai dipelihara dan diternak hingga berkembang menjadi 800 keturunan berbeda. Kini , spesies asli auroch sudah punah, betina terakhirnya ditemukan mati 300 tahun lalu di Polandia.
Pada 1920, dua orang penjaga kebun binatang di Jerman mengembangbiakkan auroch dari sapi domestik yang merupakan keturunan asli dari auroch. Menurut mereka, suatu spesies tidak akan punah selama gennya masih tersedia. Buah pikiran mereka menghasilkan keturunan sapi Heck, sapi yang selama ini kita lihat dan konsumsi.
Konsumsi daging global telah meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir, dengan konsumsi per kapita hampir dua kali lipat sejak awal 1960-an, demikian menurut Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).
Pada 1960-an setiap orang rata-rata mengonsumsi 23,1 kilogram daging setiap tahun. Namun, angka tersebut meningkat menjadi 43,2 kilogram pada tahun pada 2019. Studi menunjukkan bahwa negara yang lebih kaya cenderung mengonsumsi lebih banyak daging.
Proyeksi menunjukkan bahwa konsumsi daging per kapita di negara industri diproyeksikan naik menjadi 69,5 kilogram pada akhir tahun 2022—sementara angka yang diproyeksikan untuk negara berkembang hanya 27,6 kilogram.
Sebuah studi bertajuk "Global greenhouse gas emissions from animal-based foods are twice those of plant-based foods" terbit di Nature Food pada 2021.
Menurut penelitian ini makanan nabati menyumbang hanya 29 persen gas rumah kaca yang dipancarkan oleh industri makanan global. Sebaliknya, 57 persen emisi gas rumah kaca berasal dari industri terkait dengan pengembangbiakan dan pemeliharaan sapi, babi, dan hewan ternak lainnya, serta produksi pakan.
Seperempat dari emisi gas rumah kaca global dalam industri makanan dikatakan berasal dari produksi daging sapi saja. Bahkan, menurut penelitian ini penanaman padi yang menghasilkan lebih banyak gas rumah kaca daripada produksi daging babi, unggas, domba, kambing, dan susu.
Mengonsumsi daging sapi berarti membantu mempercepat proses perubahan iklim daripada yang diakibatkan dari pembakaran bensin.
Peternakan berkontribusi terhadap pemanasan global. Menurut data FAO, 14,5 persen dari semua emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia disebabkan oleh peternakan.
Peternakan merupakan sebuah industri yang tidak hanya mengeluarkan karbon dioksida (CO2), tetapi juga metana (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O)—dua gas yang dianggap memainkan peran yang mirip dengan CO2 dalam mendorong pemanasan global.
Meskipun metana dan dinitrogen oksida tidak bertahan lama di atmosfer dibandingkan CO2, keduanya memiliki potensi terhadap pemanasan iklim sekitar 25 kali dan 300 kali lebih tinggi daripada karbon dioksida.
Pasangan aktivis lingkungan dan penulis buku Cowed: The Hidden Impact of 93 Million Cows on America’s Health, Economy, Politics, Culture, and Environment, Denis Hayes dan Gail Boyer Hayes, mengatakan kepada National Geographic: “Jumlah karbon dioksida yang dihasilkan dari produksi daging sapi tiap ponnya (1 pon = 453gram), nyatanya, jauh lebih besar dari yang dihasilkan dari pembakaran bensin.”
Mengapa demikian?
Umumnya, daging sapi yang kita makan berasal dari hasil peternakan sapi besar di dunia Barat. “Jika anda merunut proses dan menghitung energi yang dibutuhkan sejak proses menernakkan sapi hingga menjadi hidangan di atas meja makan anda, maka benar, karbon dioksida yang dihasilkan lebih besar dari yang dilakukan pengendara mobil berbahan bakar bensin,” jelas Denis.
Jumlah energi tersebut sudah termasuk dari hasil proses pemupukan jagung yang menjadi makanan sapi ternak, energi dari hasil pembakaran bensin yang digunakan mesin traktor untuk membajak ladang, gas yang dipakai untuk memindahkan jagung hasil panen ke tempat peternakan sapi, energi yang dipakai untuk memotong dan mengawetkan daging sapi, mengirimnya ke pasar dan supermarket, gas yang terkandung dalam sunblock lotion yang dipakai konsumer sebelum pergi ke pasar demi daging sapi, dan yang terakhir gas yang digunakan konsumer untuk mengolah daging sapi tersebut.
Ada aspek kehidupan lain yang menjadi pemasok sumber gas rumah kaca lebih besar. Sebagai contoh sektor transportasi dan penerbangan. Apabila kita mengemudi sejauh 10.000 kilometer setahun, artinya kita telah melepaskan lebih dari 2 ton CO2. Besaran itu setara penerbangan dari Asia ke Eropa.
“Jika anda sudah sampai poin terakhir dari proses panjang penyediaan stok daging sapi tersebut, maka gas karbon dioksida yang dihasilkan akan lebih besar dibanding yang dihasilkan dari proses pembakaran bensin,” tutup Denis, yang juga menggagas konsep “Hari Bumi” pada 1970.
Bagaimana kasus peternakan di Indonesia?
Pada 2019 sejumlah peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (kini Badan Riset dan Inovasi Nasional) menerbitkan buku bertajuk Emisi Gas Rumah Kaca dari Peternakan di Indonesia dengan TIER 2 IPCC. Buku ini berisi tentang proses dan hasil penghitungan emisi GRK dengan menggunakan metode yang lebih akurat, yaitu Tier 2, pada semua jenis ternak di Indonesia.
Buku ini menuturkan bahwa "subsektor peternakan merupakan salah satu kontributor gas rumah kaca (GRK) nasional. Kontribusi GRK dari subsektor ini masih di bawah 2 persen dari total emisi GRK secara nasional. Namun demikian, kontribusi ini diasumsikan akan terus meningkat sejalan dengan upaya penambahan populasi ternak sebagai efek dari diterapkannya salah satu program pemerintah untuk pemenuhan protein hewani asal ternak."
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR