Nationalgeographic.co.id - Temuan tulang-belulang beruang gua dari zaman pleistosen telah mengungkapkan bukti bahwa eksploitasi kulit beruang telah berlangsung lebih dari 320.000 tahun. Tulang-belulang tersebut ditemukan di situs Pleistosen Tengah Schöningen di Lower Saxony, Jerman.
Temuan tersebut telah dijelaskan para ahli di Journal of Human Evolution dengan judul "Early evidence for bear exploitation during MIS 9 from the site of Schöningen 12 (Germany)."
“Bekas luka pada tulang sering ditafsirkan dalam arkeologi sebagai indikasi pemanfaatan daging,” kata penulis utama Ivo Verheijen, seorang peneliti di Senckenberg Center for Human Evolution and Paleoenvironment di University of Tübingen dan Forschungsmuseum Schöningen.
“Tapi hampir tidak ada daging yang bisa diambil dari tulang tangan dan kaki. Dalam hal ini, kami dapat mengaitkan tanda luka yang begitu halus dan tepat dengan pengupasan kulit yang hati-hati.
Ia mengatakan, mantel musim dingin beruang terdiri dari bulu luar panjang yang membentuk lapisan pelindung yang lapang dan bulu pendek dan lebat yang memberikan insulasi yang sangat baik. Beruang, termasuk beruang gua yang sudah punah, membutuhkan mantel yang sangat kedap untuk hibernasi.
Dalam penelitian mereka, Verheijen dan rekannya meneliti tulang beruang berusia 320.000 tahun dari situs Schöningen di Jerman.
Tanda potongan sangat tipis yang ditemukan pada spesimen menunjukkan pemotongan yang halus dan menunjukkan kesamaan dalam pola pemotongan dengan beruang dari situs Paleolitik lainnya.
“Bekas luka yang baru ditemukan ini merupakan indikasi bahwa sekitar 300.000 tahun yang lalu, orang-orang di Eropa utara dapat bertahan hidup di musim dingin, sebagian berkat kulit beruang yang hangat,” kata Verheijen.
“Tapi bagaimana kulit beruang itu diperoleh? Schöningen memainkan peran penting dalam diskusi tentang asal usul perburuan, karena tombak tertua di dunia ditemukan di sini.”
“Apakah orang-orang pada masa itu juga berburu beruang? Ada beberapa indikasi untuk ini.”
Source | : | Journal of Human Evolution,University of Tübingen |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR