Nationalgeographic.co.id - Lenny gemetar bercampur rasa sedih melihat data yang masuk padanya. Saat itu Jumat malam di tanggal merah 31 Desember 2021, menjelang tahun baru. "Udah, dong, jangan nambah terus," kata perempuan bernama lengkap Lenny Ekawati itu dalam hati.
Lenny adalah peneliti di Oxford University Clinical Research Unit (OUCRU), Jakarta. Data yang diamatinya adalah laporan masuk tentang angka kematian akibat COVID-19 yang dikerjakannya bersama LaporCovid-19. Beberapa dari korban yang gugur adalah tenaga kesehatan, garda terdepan penanganan pandemi.
"Kalau menulis yang sedih ini seperti ini [laporan] enggak gampang, Mas," ucap Lenny. "Tiba-tiba air mata bercucuran sendiri. Kalau anak zaman sekarang sebutnya kena mental kali, ya. Baca ceritanya (tentang tenaga kesehatan yang gugur), 'ya ampun sedih banget, sih'." Laporan yang dikumpulkannya bersama rekan-rekannya kini tersedia di laman Pusara Digital.
Ada 2.087 tenaga kesehatan gugur sejak pandemi menyerbu Indonesia yang dilaporkan. Angka itu masih kurang karena mungkin masih ada banyak kematian tenaga kesehatan yang belum dilaporkan. "Situs Pusara Digital akan tetap ada agar bisa mengenang mereka—jadi tempat berkabung," jelasnya. "[Laporan kami] jadi nisan digital untuk mengenang mereka."
Secara keseluruhan, ada sekitar 161 ribu korban jiwa melayang di Indonesia akibat pandemi COVID-19 sampai hari ini. Korban jiwa lebih banyak berguguran selama gelombang tinggi kasus yang terjadi di Indonesia seperti Juli 2021.
Sementara tenaga kesehatan kewalahan menghadapinya. Jenis tenaga kesehatan tidak hanya dokter spesialis, dokter umum, dan perawat, tetapi juga supir ambulans dan dokter praktik pribadi di tempatnya.
Sebuah penelitian di JAMA Network tahun 2020 menyebutkan, tenaga kesehatan COVID-19 mengemban rasa kelelahan emosional yang membahayakan kemanjuran profesional.
Penelitian itu dilakukan oleh para peneliti di Jepang yang dipimpin Takahiro Matsuo dari Department of Infectious Diseases, St Luke’s International Hospital di Tokyo. Judulnya, Prevalence of Health Care Worker Burnout During the Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Pandemic in Japan.
Lenny menjelaskan, kematian tenaga kesehatan bukan hanya sekadar karena terkena penyakit, tetapi tekanan yang dihadapi. Banyak laporan yang di antaranya masuk, tetapi belum bisa ditelusuri terkait penyebab pastinya. Yang jelas, kematian tenaga kesehatan berhubungan dengan penanganan pandemi.
Hal itu diungkap Lenny bersama rekan-rekannya dalam laporan analisis data. Data yang masuk berasal dari laporan dari kerja sama dengan organisasi perawat, dokter, bidan, hingga jurnalis. Hasil analisis mereka dipublikasikan 9 Desember 2022 di jurnal PLOS Global Public Health, bertajuk "Mortality among healthcare workers in Indonesia during 18 months of COVID-19."
Data yang mereka analisis berdasarkan data laporan dari Maret 2020 sampai Juli 2021. Pengumpulan data dilakukan setiap hari, terang Lenny. Dia tidak sendiri, anggota LaporCovid-19 juga terlibat seperti Ahmad Arif dan Irma Hidayana. Mereka mengumpulkan data setelah menunaikan pekerjaan sehari-hari mereka, dan bahkan di hari libur.
"Tim ini dedikasinya luar biasa," kesan Lenny. Data yang dikumpulkan termasuk gender, posisi pekerjaan, jenis penyakit yang dimiliki dan riwayat keluarganya, serta waktu kematiannya.
Mayoritas tenaga kesehatan yang meninggal adalah dokter umum dan spesialis, sebanyak 35 persen, diikuti perawat 28 persen, dan bidan 23 persen. Umumnya tenaga kesehatan yang meninggal berusia 40 hingga 59 tahun. 45 kasus yang dicatat adalah tenaga kesehatan wanita yang hamil.
Temuan yang menarik adalah bidan dan dokter praktik yang turut gugur selama pandemi COVID-19. Lenny menjelaskan, walau kedua pekerjaan tidak di fasilitas kesehatan yang menangani pandemi, paparan pada mereka terjadi akibat pasien yang dirawat, diam-diam membawa penyakit itu. Tidak sedikit akhirnya mereka harus meninggalkan praktik atau klinik mereka karena terpapar, hingga akhirnya meninggal dunia.
Baca Juga: Walau Corona adalah Pandemi Zoonosis, Tren Pelihara Satwa Liar Marak
Baca Juga: Pandemi Telah Mengubah Kepribadian Kita Menjadi Lebih Murung
Baca Juga: Dunia Hewan: Tak Semua Satwa Liar Pulih selama Kuncitara COVID-19
Baca Juga: Pandemi Berikutnya Datang Karena Perubahan Iklim Tak Terhindari
Baca Juga: Cerita Syafiq, Tim Relawan Penjemput Jenazah Covid-19 Yogyakarta
Sayangnya, yang seperti ini bisa luput dari tanggung jawab pemerintah untuk memberikan hak mereka, terang Lenny. Pemerintah, memang, menggelontorkan dana untuk insentif bagi tenaga kesehatan, dan asuransi kematian. Akan tetapi, keuntungan tersebut hanya diberikan kepada tenaga kesehatan yang tercatat sebagai pegawai negeri sipil (PNS).
"Kita betul-betul memerlukan catatan surveilans kematian untuk tenaga kesehatan," terang Lenny. "Dan surveilans ini penting untuk nantinya berhubungan dengan klaim asuransi kematiannya, karena mereka punya keluarga yang sebetulnya membutuhkan mereka."
"Sebetulnya, kalau gak ada pandemi mungkin [para tenaga kesehatan] bisa berkarya lebih lama lagi, karena yang meninggal-meninggal ini kebanyakan masih di usia-usia produktif," tuturnya.
Sampai akhir 2022, Lenny mengatakan bahwa LaporCovid-19 masih menemukan laporan tenaga kesehatan yang meninggal dunia. Jumlahnya yang gugur semakin sedikit dibanding pada masa-masa puncak pandemi 2020-2021. Namun, bisa jadi, Lenny menduga bahwa banyak pihak yang tidak lagi melaporkan seiring kebijakan kuncitara semakin melonggar.
Jumat 30 Desember 2022, kuncitara dicabut oleh Presiden Joko Widodo. Kebijakan ini memudahkan masyarakat untuk bisa beraktivitas di ruang terbuka. Meski demikian, hantu pandemi COVID-19 bukan berarti tiada. Mereka masih ada di antara kita, tetapi belum dilaporkan seiring kewajiban tes usap perlahan ditiadakan.
Source | : | JAMA Network,Laporcovid19 |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR