Nationalgeographic.co.id - Studi baru ilmuwan Ohio State University menemukan bahwa teknologi saja tidak dapat mengatasi kesenjangan digital. Mereka mempelajari komunitas pengungsi Bhutan di Columbus yang meski memiliki akses teknologi, tapi tetap tidak menggunakannya.
Penelitian tersebut menunjukkan, pada beberapa komunitas, kesenjangan digital tetap ada bahkan setelah mereka memiliki akses ke komputer dan internet cepat.
Mereka mempelajari komunitas pengungsi Bhutan di Columbus yang meskipun lebih dari 95% populasi memiliki akses ke internet, sangat sedikit yang menggunakannya untuk terhubung dengan sumber daya lokal dan berita daring.
Dan penelitian, yang dilakukan selama puncak perintah tinggal di rumah pandemi COVID-19 di Ohio, menemukan bahwa hampir tiga perempat responden tidak pernah menggunakan internet untuk layanan telehealth.
Hasilnya menunjukkan bahwa kesenjangan digital harus dilihat lebih dari sekadar masalah teknologi, kata Jeffrey Cohen, penulis utama studi dan profesor antropologi di The Ohio State University.
"Kami tidak bisa begitu saja memberi orang akses ke internet dan mengatakan masalahnya sudah selesai," kata Cohen.
"Kami menemukan bahwa ada alasan sosial, budaya, dan lingkungan yang dapat mencegah beberapa komunitas mendapatkan semua nilai yang mereka bisa dari akses internet."
Studi ini dipublikasikan baru-baru ini di International Journal of Environmental Research and Public Health.
Untuk penelitian ini, para peneliti bekerja sama dengan anggota Komunitas Bhutan di Ohio Tengah, sebuah organisasi nirlaba yang membantu memukimkan kembali pengungsi Bhutan di daerah Columbus.
Studi tersebut mencakup survei komunitas terhadap 493 responden, beberapa di antaranya disurvei secara online dan banyak lagi yang diwawancarai secara langsung.
Sementara banyak responden hidup dalam kemiskinan, lebih dari setengahnya memiliki pendapatan tahunan di bawah $35.000, 95,4% mengatakan bahwa mereka memiliki akses ke internet.
Source | : | International Journal of Environmental Research and Public H,Ohio State University |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR