Nationalgeographic.co.id - Kaisar terakhir dari Dinasti Qing sekaligus kaisar terakhir Tiongkok, Puyi harus menjalani kehidupan yang berliku yang menyedihkan. Pria yang naik takhta sejak usia dua tahun, harus menghadapi kejatuhan kekaisarannya, Perang Tiongkok-Jepang Kedua dan Perang Dunia II. Juga Perang Saudara Tiongkok dan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok.
Terlahir di tengah segala keistimewaan dan kemewahan, Puyi meninggal sebagai seorang asisten tukang kebun di bawah rezim komunis.
Saat meninggal karena kanker ginjal pada tahun 1967, mantan kaisar itu berada di bawah perlindungan anggota Revolusi Kebudayaan. Sambil mengembuskan napas, Puyi menyelesaikan kisah hidupnya yang benar-benar lebih aneh daripada cerita fiksi.
Kehidupan awal kaisar terakhir Tiongkok
Aisin-Gioro Puyi lahir pada 7 Februari 1906, di Beijing, Tiongkok. Ayahnya adalah Pangeran Chun (Zaifeng) dari klan Aisi-Gioro dari keluarga kerajaan Manchu. Sedangkan sang ibu Youlan, berasal dari klan Guwalgiya, anggota dari salah satu keluarga kerajaan paling berpengaruh Di Tiongkok. Di kedua sisi keluarganya, ada penguasa de facto Tiongkok, Ibu Suri Cixi yang memodernisasi Tiongkok.
Puyi kecil baru berusia dua tahun ketika pamannya, Kaisar Guangxu, meninggal karena keracunan arsenik pada 14 November 1908. Saat itu, Ibu Suri Cixi memilih bocah laki-laki itu sebagai kaisar baru sebelum dia meninggal keesokan harinya.
Pada tanggal 2 Desember 1908, Puyi secara resmi dinobatkan sebagai Kaisar Xuantong. Menurut catatan, balita tersebut tidak menyukai upacara penobatan. “Ia menangis dan meronta saat diberi nama Putra Langit,” tulis Kallie Szczepanski di laman ThoughtCo. Kaisar balita itu secara resmi diadopsi oleh Ibu Suri Longyu.
Kaisar cilik menghabiskan empat tahun berikutnya di Kota Terlarang (Forbidden City). Terputus dari keluarga kandungnya, Puyi dikelilingi oleh sejumlah kasim yang harus menuruti setiap keinginan kekanak-kanakannya.
Mengetahui bahwa ia memiliki kekuasaan, Puyi mencambuk para kasim yang tidak menyukainya atau bahkan menentangnya. Satu-satunya orang yang berani mendisiplinkan tiran kecil itu adalah pengasuhnya dan sosok ibu pengganti, Wen-Chao Wang.
Masa pemerintahan yang singkat
Pada 12 Februari 1912, Ibu Suri Longyu mencap "Dekrit Kekaisaran Pengunduran Diri Kaisar", yang secara resmi mengakhiri kekuasaan Puyi. Dia dilaporkan mendapat 1.700 pon perak dari Jenderal Yuan Shikai atas kerjasamanya dan janji bahwa ia tidak akan dipenggal.
Yuan menyatakan dirinya sebagai Presiden Republik Tiongkok dan memerintah hingga Desember 1915. Pada tahun 1916, Yuan mengangkat dirinya menjadi Kaisar Hongxian, mencoba untuk memulai dinasti baru. Namun, ia meninggal tiga bulan kemudian karena gagal ginjal sebelum berhasil menduduki takhta kekaisaran.
Sementara itu, Puyi tetap tinggal di Kota Terlarang. Ia bahkan tidak menyadari Revolusi Xinhai yang mengguncang bekas kekaisarannya itu. Pada bulan Juli 1917, panglima perang lain bernama Zhang Xun mengembalikan Puyi ke takhta selama sebelas hari. Pemulihan takhta itu kemudian dibatalkan oleh panglima perang saingan bernama Duan Qirui. Akhirnya, pada tahun 1924, panglima perang lainnya, Feng Yuxian, mengusir mantan kaisar itu dari Kota Terlarang. “Mantan kaisar yang saat itu berusia 18 tahun pun angkat kaki dari istananya,” kata Szczepanski.
Kaisar boneka pemerintah Jepang
Puyi bertempat tinggal di kedutaan Jepang di Beijing selama satu setengah tahun dan pada tahun 1925 pindah ke wilayah konsesi Jepang di Tianjin. Puyi dan Jepang memiliki lawan yang sama yaitu etnis Han. Han-lah yang menggulingkan Puyi dari kekuasaan.
Mantan kaisar menulis surat kepada Menteri Perang Jepang pada tahun 1931 meminta bantuan untuk memulihkan takhtanya. Berkat permohonan Puyi, Jepang jadi punya alasan untuk menyerang dan menduduki Manchuria, tanah air leluhur Puyi. Kemudian pada November 1931, Jepang mengangkat Puyi sebagai kaisar boneka mereka di negara bagian baru Manchukuo.
Sang mantan kaisar rupanya tidak senang karena hanya memerintah Manchuria alih-alih seluruh Cina. Tidak hanya itu, ia pun kerap dilecehkan di bawah kendali Jepang. Puyi bahkan dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan bahwa jika dia memiliki seorang putra, anak tersebut akan dibesarkan di Jepang.
Antara tahun 1935 dan 1945, Puyi berada di bawah pengawasan dan perintah seorang perwira Tentara Kwantung. Perwira itu ditugaskan untuk memata-matai Kaisar Manchukuo dan menyampaikan perintah kepadanya dari pemerintah Jepang. Secara bertahap, seluruh staf Puyi pun diganti dengan antek-antek Jepang.
Baca Juga: Sejumlah 21 Makam Dinasti Han Ditemukan di Tiongkok
Baca Juga: Nestapa Pria Miskin di Tiongkok Kuno, Dikebiri demi Jadi Kasim
Baca Juga: Cheng Ho, Kasim yang Membawa Tiongkok Kuno ke Panggung Dunia
Ketika Jepang menyerah pada akhir Perang Dunia II, Puyi naik pesawat ke Jepang. Namun dia ditangkap oleh Tentara Merah Soviet dan dipaksa bersaksi di pengadilan kejahatan perang di Tokyo pada tahun 1946. Akibatnya, sampai tahun 1949 Puyi menjadi tahanan Soviet di Siberia.
Ketika Tentara Merah Mao Zedong menang dalam Perang Saudara Tiongkok, Soviet menyerahkan mantan kaisar itu. Di usia 43 tahun, Puyi berada di bawah kekuasaan pemerintahan komunis Tiongkok yang baru.
Kehidupan Puyi di bawah rezim Mao
Ketua Mao memerintahkan Puyi dikirim ke Pusat Manajemen Penjahat Perang Fushun. Disebut Penjara Liaodong No. 3, ini adalah kamp pendidikan ulang bagi tawanan perang dari Kuomintang, Manchukuo, dan Jepang. Puyi menghabiskan 10 tahun berikutnya di penjara dan terus-menerus dibombardir dengan propaganda komunis.
Pada tahun 1959, Puyi siap untuk berbicara di depan umum mendukung Partai Komunis Tiongkok. Oleh karena itu, sang mantan kaisar pun dibebaskan dari kamp dan diizinkan kembali ke Beijing. Di sana, Puyi mendapat pekerjaan sebagai asisten tukang kebun di Kebun Raya Beijing. Pada tahun 1962, Puyi menikah dengan seorang perawat bernama Li Shuxian.
Mantan kaisar bahkan bekerja sebagai editor Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Tiongkok sejak 1964. Di sela-sela waktu luangnya, ia menyempatkan diri untuk menulis otobiografi, "Dari Kaisar untuk Warga Negara," yang didukung oleh pejabat tinggi partai Mao dan Zhou Enlai.
Kedamaian yang tidak pernah tercapai
Ketika Mao memicu Revolusi Kebudayaan pada tahun 1966, Pengawal Merahnya segera menargetkan Puyi sebagai simbol pamungkas "Tiongkok kuno".
Akibatnya, Puyi kembali ditempatkan di bawah perlindungan. Ia kembali kehilangan banyak kemewahan sederhana yang diberikan kepadanya selama bertahun-tahun sejak pembebasannya dari penjara. Di saat yang sama, kesehatannya juga menurun.
Pada 17 Oktober 1967, di usianya yang baru menginjak 61 tahun, Puyi, kaisar terakhir Tiongkok, meninggal karena kanker ginjal.
Kehidupannya yang aneh dan bergejolak berakhir di kota tempat ia berawal. Ia mengembuskan napas terakhir setelah melalui enam dekade dan tiga rezim politik.
Source | : | thought.co |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR