Nationalgeographic.co.id - Berbagai media yang memiliki fokus di isu lingkungan, seperti kami--National Geographic Indonesia kerap mewartakan tentang perubahan iklim berdasarkan sumber ilmiah. Sering kali, makalah ilmiah memberikan laporan terkait perubahan iklim, dampak krisisnya diprediksikan di waktu yang akan datang.
Saran-saran dari para ilmuwan dan akademisi adalah tindakan sesegera mungkin, sebelum tenggat waktu beberapa tahun lagi yang membuat dampaknya makin parah. Namun, anggapan perubahan iklim sebagai masalah di masa depan bergaung di publik.
Kesadaran iklim memang disadari oleh kalangan muda di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Generasi muda peduli dengan perubahan iklim karena mereka yang akan berdampak di masa depan. Di satu sisi, Geger Riyanto, editor lembaga kajian media Remotivi yang juga pengajar antropologi Universitas Indonesia, justru mendapatkan pengalaman yang berbeda.
"Kita mikirnya (perubahan iklim) itu 'oh, itu nanti. Oh, itu di tempat lain," kata Geger yang saat ini fokus dengan narasi perubahan iklim dan media massa di Remotivi, saat dijumpai.
"Yang saya alami waktu saya menyampaikan materi ini (perubahan iklim) di antara anak-anak muda. Itu anak-anak muda itu mengakui bahwa itu 'udahlah, itu biar anak-cucu saya [yang mengurusnya]'," lanjutnya.
Dampak perubahan iklim adalah krisis iklim. Dampaknya tidak hanya terasa beberapa dekade hingga abad mendatang, tetapi proses menuju titik krisis sudah sangat terasa hari ini. Beberapa di antaranya, misalnya adalah cuaca tidak menentu yang dirasakan oleh kalangan yang berdampak seperti petani.
Dampak perubahan iklim dengan pola cuaca tidak menentu juga diamini oleh para ilmuwan IPCC. Selain itu, penelitian lainnya di Nature Climate Change Juni 2021, para peneliti melaporkan perubahan iklim membuat berbagai produk pangan bisa gagal panen yang bisa mengancam krisis kelaparan di berbagai negara.
Pemanasan global yang disebabkan perubahan iklim juga memicu melelehnya es di kutub. Banyak ilmuwan bahkan memperingatkan, pelelehan es bisa berdampak pada ketinggian muka air laut terhadap daratan yang berbeda-beda di setiap negara di masa depan.
Untuk Jakarta sendiri, kota ini diwanti-wanti oleh para ilmuwan akan terendam banjir akibat kenaikan muka laut perubahan iklim. Penelitian dari Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2007 menyebutkan, rata-rata kenaikan muka laut di tahun 2025, diperkirakan 57 sentimeter lebih tinggi dari satu abad sebelumnya. Ditambah dengan laju penurunan tanah 0,8 sentimeter per tahun, kawasan utara Jakarta jadi lebih rentan terkena banjir pesisir.
Namun, hari ini kita bisa melihat langsung kawasan pesisir utara Jakarta sudah terendam. Masjid Wal-Adhuna di Muara Baru salah satunya yang menjadi saksi tenggelamnya Jakarta secara perlahan. Kejadian serupa terjadi di kawasan rentan lainnya di pesisir utara Pulau Jawa seperti Semarang, Jepara, Demak, dan Pekalongan.
Muhammad Rudi Wahyono, peneliti Center for Information and Development Studies (CIDES) mengatakan, kenaikan air muka laut di Jakarta punya dampak merugikan. Dari segi infrastruktur, perlu ada pengeluaran biaya untuk perawatan, terutama pemeliharan bangunan cagar budaya yang telah berdiri berabad-abad lamanya.
Source | : | Nature,National Geographic Indonesia,WWF |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR