Seorang pelaku dari daerah Ikogoru mengaku bahwa dirinya merasa bahwa anaknya adalah mendiang istrinya yang telah meninggal dunia dan di saat bersamaan merasa tidak rela bahwa kelak anaknya bakal dimilliki oleh pria lain ketika dewasa.
"Saya terpesona oleh kecantikannya dan merasa tidak enak bahwa suatu hari nanti, seseorang akan menikmatinya," tutur pria tersebut.
Sementara seorang pria dari negara bagian Lagos beralasan bahwa perbuatannya terjadi usai dia kehilangan pekerjaan hingga kemudian mulai rutin mengonsumsi minuman beralkohol.
Terdengar mengada-ada atau mencari-cari alasan? Mungkin pengakuan jujur berikut ini malah akan membuat Anda murka.
Bayangkan saja, seorang ayah di negara bagian Akwa-Ibom malah merasa bahwa sesuatu yang normal jika dirinya merudapaksa anaknya sendiri.
"Itu adalah hal yang normal dan saya tidak melihat hal buruk dalam tidur dengannya..." ujarnya dengan percaya diri.
Demi nafsu
Apa pun alasan yang diutarakan para pelaku, Dr. Rinita Jain seorang psikolog dari India menganggap bahwa alasan sebenarnya ya hanya untuk memuaskan nafsu belaka.
Dalam artikel yang ditulisnya di psychologs.com (27/2/2020), Jain menulis bahwa tindakan pemerkosaan terhadap anak "merupakan kesenangan naluriah tanpa rasa takut akan konsekuensinya."
Apalagi, masih menurut Jain, "ada kebodohan dalam pendidikan dan sistem politik kita yang sama sekali gagal menangani kejahatan ini."
Sementara itu, Elizabeth Ward, penulis buku Father-daughter rape menganggap bahwa pemerkosaan ayah-anak dapat berlanjut selama bertahun-tahun karena korban tidak memiliki siapa pun untuk mengungkapkan kondisinya.
Di sisi lain, menurut catatan Ward, pemerkosaan ini kerap kali lebih menonjolkan sisi kekuasaan dibandingkan sisi seksualitasnya.
"Pemerkosaan seringkali dipicu oleh persepsi bahwa perempuan adalah korban yang tidak berdaya dan dapat diakses," tulis Ward.
"Disimpulkan bahwa selama laki-laki berkuasa, pemerkosaan akan terus berlanjut."
Penulis | : | Ade S |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR