Nationalgeographic.co.id - November 2020, Presiden Joko Widodo memasukan lumbung pangan (food estate) sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Proyek ini menuai kritik oleh berbagai kalangan sosial, ekonomi, dan lingkungan, sampai sekarang terkait keberhasilannya dalam kedaulatan pangan.
Wahyu Perdana, juru kampanye Pantau Gambut dalam diskusi daring bertajuk 'Food Estate: Untuk Membangun Kedaulatan Pangan?' pada Jumat, 3 Maret 2023 menilai, lumbung pangan punya kerugian secara ekologis.
Ia mengungkapkan, proyek lumbung pangan membuat pertanian bersifat monokultur. Sementara monokultur bukanlah sistem pertanian yang cocok di Indonesia yang kaya di alam tropis, sehingga membuat keanekaragaman hayati menjadi rentan terhadap kerusakan ekologis. "Lumbung pangan bukanlah jalan yang tepat untuk kedaulatan pangan," terang Wahyu Perdana.
Pada dampak sosial, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Uli Arta Siagian berpendapat, proyek lumbung pangan kurang berpihak kepada kesejahteraan rakyat.
“Mengacu kepada temuan kami di lapangan, kedaulatan pangan lokal berisiko punah akibat ekspansi monokultur dan penyeragaman pangan yang dipaksakan untuk dikonsumsi dan menjadi komoditas bisnis. Produksi secara besar-besaran lebih diutamakan dibandingkan untuk pemenuhan pangan sendiri," tutur Uli.
Ditambah lagi, proyek ini cenderung membawa ancaman perubahan iklim yang lebih parah. Padahal, selama ini para petani tradisional telah menerapkan pertanian yang telah membantu kestabilan alam dan memasok lumbung pangan.
"Solusinya adalah sesuai kepada konsep Walhi, yaitu kembali pada konsep tata kuasa petani dan masyarakat, tata kelola praktik lokal, tata produksi hulu ke hilir untuk meningkatkan nilai tambah, dan tata konsumsi untuk pemenuhan kebutuhan setempat,” ungkapnya.
Wahyu menambahkan, proyek lumbung pangan yang sedang digadangkan membuat pembukaan lahan di areal gambut. Secara keberlanjutan lingkungan dinilai dapat melepaskan emisi karbon sekitar 427 ton, menurut Pantau Gambut.
"Terlebih lagi, ekosistem gambut yang rusak sangat sulit dan mahal untuk direstorasi, butuh waktu 10.000 tahun untuk pembentukannya." terangnya.
Pantau Gambut mengungkapkan dalam risetnya, empat wilayah Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di Kalimantan Tengah sangat rentan mengalami kebakaran hutan dan lahan. Bahkan sebagian wilayah yang masuk dalam proyek lumbung pangan, juga termasuk dalam kawasan terancam.
Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim terhadap Ragam Pasokan Pangan dan Nutrisi Dunia
Baca Juga: Solusi Hijau: Daur Ulang Tinja dan Urin untuk Gizi Pangan dan Obat
Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim, Memburuknya Pasokan Pangan, Rasa dan Racun
Baca Juga: Krisis Pangan Akibat Iklim, Genetika Tanaman Buatan Jadi Solusinya
"Pantau Gambut merekomendasikan agar pemerintah meninjau kembali regulasi proyek food estate dengan mempertimbangkan dampak kerusakan ekologi dan menurunnya kesejahteraan petani lokal sebagai efeknya," pungkas Wahyu.
Sementara Angga Dwiartama, dosen dan peneliti Sosiologi Pertanian-Pangan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menambahkan bahwa ketersediaan pangan di Indonesia sebenarnya sudah jauh melebihi konsumsi nasional. Hal itu diungkap dalam Indeks Ketahanan Pangan Indonesia tahun 2021 dari Badan Ketahanan Pangan (BKN).
"Namun sayangnya, seperti di daerah Papua terjadi kerentanan pangan yang sangat tinggi. Oleh karena itu, sebenarnya masalah utama pangan terletak pada sisi keadilan dan distribusi, yakni dari harga yang harusnya terjangkau, ketersediaan akses, serta pemenuhan hak-hak para petani,” ungkap Angga.
Angga menerangkan, sistem kedaulatan pangan di Indonesia telah mengalami pergeseran dengan penyesuaian terapan lewat pembukaan lahan demi proyek lumbung pangan. Akibatnya, pemenuhan pangan lewat sistem pangan dan sumber daya lokal, yang sebenarnya sudah diamanatkan lewat UU No.18 tahun 2012 tentang Pangan, justru terabaikan.
"Kita terus membicarakan food estate, bagaimana dengan food sovereignty (kedaulatan pangan)?" ungkap Angga. "Kedaulatan pangan adalah hak masyarakat atas pangan yang sehat dan sesuai dengan budaya yang dproduksi lewat metode yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, dan hak mereka untuk menentukan sistem pangan dan pertanian mereka sendiri."
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR