Nationalgeographic.co.id—Dalam beberapa tahun terakhir, badai menjadi lebih intens karena perubahan iklim, terutama di laut lepas. Hal itu tentu dapat berdampak pada spesies burung laut sehingga menarik perhatian para ilmuwan.
Tim ilmuwan dari Max Planck Institute mencoba kecepatan angin yang dapat ditoleransi oleh spesies burung laut yang berbeda.
Temuan mereka mampu menunjukkan bahwa masing-masing spesies beradaptasi dengan baik dengan kondisi angin rata-rata di tempat berkembang biaknya. Para burung juga menggunakan strategi yang berbeda untuk menghindari terbang melewati badai.
Tapi, terlepas dari itu semua, yang paling mengejutkan para ilmuwan adalah perilaku burung albatros. Mereka ternyata memiliki kemampuan terbang yang lebih cepat dari angin untuk menghindarinya.
Selain bisa terbang lebih cepat dari angin, burung albatros juga memiliki kemampuan terbang melewati mata badai, meski mereka tidak selalu melakukannya. Di saat mereka memiliki strategi lain, mereka tidak melakukannya.
Seperti semua spesies hewan, burung laut harus beradaptasi dengan baik pada ceruk ekologisnya agar dapat bertahan hidup. Temuan mereka tersebut telah diterbitkan di Current Biology secara daring.
Kondisi lingkungan seperti suhu, tumbuh-tumbuhan, curah hujan, dan banyak faktor lainnya memengaruhi seleksi alam: siapa pun yang beradaptasi paling baik akan bertahan.
Penelitian sebelumnya banyak berfokus pada bagaimana hewan dapat mengatasi kenaikan suhu. Namun, burung laut juga terkena angin kencang, karena biasanya berburu di laut lepas.
Penulis pertama studi tersebut, Elham Nourani dari Max Planck Institute for Animal Behavior, bertanya pada dirinya sendiri bagaimana burung bereaksi terhadap angin topan dan berapa kecepatan angin maksimum yang dapat mereka toleransi.
Dengan menggunakan data penerbangan dari 18 spesies berbeda, dia dan timnya juga menyelidiki apakah spesies tersebut menghindari kecepatan angin tertentu tergantung pada karakteristik penerbangannya.
Tim menggunakan teknologi pelacakan GPS dan menganalisis lebih dari 300.000 jam penerbangan. Ini memungkinkan mereka untuk menunjukkan bahwa burung yang hidup di lingkungan berangin terbang lebih cepat daripada angin.
"Mereka perlu mencapai kecepatan ini untuk dapat menentukan arah mereka sendiri. Jika tidak, mereka akan hanyut begitu saja," jelas rekan penulis Emily Shepard.
Dalam analisis mereka, para peneliti melihat antara lain spesies tropis dan albatros.
Albatros adalah penerbang cepat, karena mereka secara teratur terbang dalam badai di laut selatan. Spesies tropis, di sisi lain, mengalami kecepatan angin yang lebih rendah setiap hari dan sangat jarang kecepatan angin yang tinggi dan disesuaikan dengan itu.
"Namun, badai tropis jauh lebih kuat daripada di laut selatan," kata Shepard.
Ini berarti albatros dapat terbang di hampir semua kondisi, sedangkan spesies tropis harus mengembangkan strategi khusus menghindari angin kencang. Badai tropis mencapai dua kali kecepatan yang bisa ditoleransi burung.
Baca Juga: Dunia Hewan: Burung Pemangsa Paling Langka di Australia Menghilang
Baca Juga: Cerita di Balik Burung Phoenix yang Legendaris, Ada Makna Mengerikan
Baca Juga: Dunia Hewan: Saat Burung Bermigrasi Tersesat, Mungkin Ini Penyebabnya
Baca Juga: Dunia Hewan: Burung Paling Langka dengan Risiko Kepunahan Lebih Tinggi
"Angin ekstrem bagi spesies tropis adalah hal yang lumrah bagi albatros. Jadi, kondisi ekstrem bervariasi menurut spesies," kata Nourani.
Namun, hanya karena albatros dapat terbang dalam banyak angin, bukan berarti mereka melakukannya. Kadang-kadang mereka terbang langsung ke mata badai, seperti albatros berhidung kuning Atlantik yang mereka lacak dalam penelitian ini.
Kecepatan angin dalam badai adalah 68 kilometer per jam, tetapi hanya 30 di mata badai, sehingga burung dapat terbang di dalamnya selama dua belas jam.
Apa yang sangat tidak terduga bagi para peneliti adalah bahwa burung terkadang menghindari kecepatan angin di mana mereka dapat terbang dalam skenario lain.
Hasil penelitian ini dapat membantu untuk menilai dengan lebih baik burung laut mana yang dapat bertahan dari perubahan intensitas badai yang cepat di masa depan.
Source | : | Max Planck Institute,Current Biology |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR