Nationalgeographic.co.id—"Kekuatan populasi jauh lebih besar daripada kekuatan di bumi untuk menghasilkan penghidupan bagi manusia,” kata Thomas Robert Malthus (1766-1834).
Ekonom dan pakar kependudukan asal Inggris itu pesimis bahwa planet ini selalu mampu memberi kecukupan bagi manusia yang menghuninya. Ia melampaui pemikiran di zamannya. Ketika itu populasi manusia berhasil mencapai satu miliar—untuk pertama kalinya setelah ribuan tahun peradaban manusia.
Belakangan, kegelisahan Malthus itu kerap menjadi bahan olok-olok, setidaknya para ilmuwan akhir abad ke-20. Mereka menganggap Malthus tidak memperhitungkan pencapaian teknologi—khususnya bidang pertanian.
Para penentang Malthus barangkali ada benarnya. Namun, apabila berkaca pada hari ini, jangan-jangan moral cerita dari pemikiran Malthus itu patut kita pertimbangkan kembali.
Pada akhir tahun lalu, populasi Bumi mencapai delapan miliar. Angka ini tiga kali lebih tinggi dari populasi pada 1950, yang saat itu mencapai 2,5 miliar. Tentu, besaran itu bukan angka semata bagi kita.
Delapan miliar merupakan pencapaian tertinggi populasi manusia sejak kehadirannya di Bumi. Pencapaian itu berkat temuan sains dan teknologi, khususnya bidang kesehatan.
Peningkatan nutrisi dan peningkatan standar hidup turut mempercepat laju pertambahan populasi. Vaksin, yang belakangan memperkebal tubuh kita dari patogen mematikan, turut menjadi salah satu penanda pencapaian ilmu pengetahuan abad ini.
Di sisi lain, setiap lonjakan populasi global memiliki dampak terukur pada kesehatan planet ini. Pertumbuhan populasi yang didukung meningkatnya angka harapan hidup menimbulkan dampak sosial dan ekonomi, termasuk kelangkaan sumber daya.
Namun, masalah kesehatan, pangan, dan nutrisi ternyata masih menjadi permasalahan di negara-negera sedang berkembang, termasuk Indonesia. Kita juga berkontribusi pada memburuknya kualitas lingkungan akibat melunturnya etika ekologi. Artinya, kita semakin berat untuk terbebas dari dampak perubahan iklim.
National Geographic Indonesia edisi April 2023 menjadi bagian tengara perayaan 18 tahun majalah bingkai kuning ini menjelajahi Nusantara. Dari sebuah vila abad ke-18 di tepian kanal Ciliwung pada 28 Maret 2005, majalah ini resmi mengawali misinya dalam edisi bahasa Indonesia.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR