Oleh Feri Latief
Nationalgeographic.co.id—“Cobalah mengurus sendiri sensor video atau film yang kita buat ke Lembaga Sensor Film Indonesia, jangan terkejut dengan kecepatan, transparansi dan biaya murahnya!”
Untuk para pembuat film dan video, siapa yang tak ingin karyanya ditayangkan di bioskop ternama—walaupun hanya sekali untuk screen play?
Akan tetapi, sebuah film bisa tayang di bioskop dan ditonton orang, ternyata ada syaratnya, yaitu lolos sensor!
Sebenarnya saya paling malas apabila harus berhubungan dengan birokrasi. Dalam benak saya, berurusan dengan birokrasi itu ribet. Kita harus bolak-balik ke sana kemari demi mendapatkan selembar surat izin.
Pun, kita harus menyiapkan dokumen-dokumen untuk persyaratannya. Situasi ini sungguh melelahkan secara fisik dan mental, belum lagi bila ditolak.
Pada akhirnya seolah lingkaran setan. Untuk memperlancar semua urusan dengan lembaga-lembaga birokrasi, kita harus mengeluarkan duit. Suap-menyuap terjadi, korupsi bukan hal baru lagi.
Belakangan ini saya mendapat penugasan dari lembaga internasional yang berada di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Film-film dokumenter karya saya dalam penugasan itu diminta untuk didaftarkan ke Lembaga Sensor Film. Rencananya film-film itu akan diputar dalam acara yang diselenggarakan di bioskop seputaran Senayan, Jakarta.
Agak ragu saya menerima penugasan ini. Akhirnya saya terima juga, meski harus keluar dari zona nyaman. Inilah pengalaman pertama kali saya mendaftarkan film di Lembaga Sensor Film Indonesia.
Akhirnya, saya mulai riset bagaimana cara mengajukan permohonan sensor film. Dapatlah beberapa nama kontak yang segera saya hubungi. Saya diarahkan untuk mengakses nomor kontak e-SiAS, layanan daring untuk pendaftaran penyensoran film dan iklan film.
Saya mengontak nomor itu. Respon mereka cepat dan baik. Saya diinfokan soal alur pendaftarannya, syarat pendaftaran dan registrasi akun aplikasinya. Kini pendaftaran penyensoran film sudah menggunakan aplikasi!
Karena film saya hanya diputar dalam acara khusus, syarat pengajuan sensornya lebih mudah. Syarat ini berlaku untuk komuntas, organisasi massa, atau lembaga swadaya masyarakat—bukan perusahaan.
Saya hanya melengkapi SKPF (Surat Keterangan Pencatatan Film) atau Surat Rekomendasi Sensor dari Direktorat Perfilman, Musik dan Media, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi; sinopsis film; materi sensor dan Surat Penyelenggaraan Festival dan Event. Kalau perusahaan film yang mengajukan, syarat ini akan lebih panjang.
Walau film-film ini saya yang membuatnya, kepemilikannya pada lembaga PBB. Jika ingin mendaftarkan penyensorannya, saya harus memiliki surat kuasa dari lembaga PBB pemilik film-film tersebut. Saya pun dibekali surat kuasa.
Hari Senin, 20 Februari 2023, saya ajukan permohonan itu ke kantor Kemendikbudristek. Saya tak berharap cepat surat rekomendasi itu keluar, perkiraan saya seminggu juga belum tentu selesai.
Ternyata, saya telah meremehkan mereka. Dua hari kemudian, Rabu 22 Februari 2023, surat rekomendasi berbentuk berkas pdf itu dikirimkan kepada saya.
Saya tak menyangka bisa cepat mendapat surat rekomendasi dari kementerian dan tanpa biaya sepeser pun! Akan lebih baik jika lebih transparan dan bisa dilacak prosesnya.
Selanjutnya, hari itu juga saya mendaftarkan penyensoran film online lewat aplikasi e-SiAS. Pertama saya harus regsitrasi diapliaksi, syarat regsitrasinya adalah surat rekomendasi dari Kementerian yang sudah saya dapatkan. Lalu juga surat kuasa dari pemilik film.
Setelah regsitrasi, maka saya sudah bisa mendaftarkan film-film saya untuk disensor. Ada formulir yang cara mengisinya cukup diklik, kecuali untuk judul film dan durasi film yang harus kita isi sendiri.
Untuk materi film yang ukuran filenya di bawah 20 mb, bisa langsung diunggah. Kalau berukuran besar cukup cantumkan link untuk unduh di surat permohonan yang kita unggah dalam formulir.
Tidak sampai 15 menit, lima film yang saya buat telah terdaftar di sistem e-SiAS. Untuk melacak sampai di mana proses sensornya, cukup mengeklik sensor status maka akan tampil sampai sejauh mana prosesnya.
Setelah terdaftar di sistem, selanjutnya adalah proses membayar. Bisa bayar daring atau tunai—harus datang langsung ke sekretariat.
Semuanya tercatat dan terdapat bukti pembayarannya. Mau tahu berapa biaya sensor kelima film yang saya buat? Hanya Rp 69.904! Murah bukan?
Setelah membayar barulah proses sensor film dimulai. Kita tinggal menunggu hasil dalam tiga hari kerja, dengan catatan tidak ada masalah dengan kontennya.
Pada 24 Februari 2023, atau dua hari setelah saya mendaftar lewat aplikasi, tiga dari lima film saya telah dinyatakan lolos sensor.
Pada hari ketiga, dua film saya lainnya juga dinyatakan lolos sesnsor. Ada pemberitahuan dan surat lolos sensornya. Totalnya hanya lima hari kerja, dua hari kerja mengurus surat rekomendasi dari Kemdikbudristek dan tiga hari kerja untuk uji sensornya. Cepat bukan?
Perbaikan di Lembaga Sensor Film
“Sistem itu sudah kita perbaiki sejak tahun 2021, walalupun begitu, sampai sekarang masih tetap dilakukan perbaikan,” tegas Erri Rosdy, anggota LSF.
Sebelumnya, proses pendaftaran sensor disinyalir menjadi permainan beberapa orang untuk mencari keuntungan.
Ada pengalaman rekan Erri yang juga anggota LSF periode sekarang. Dahulu rekannya harus mengeluarkan dana lebih untuk penyensoran. Belakangan, setelah menjadi anggota LSF, ia terkejut karena mendapati bahwa biaya resmi yang harus dibayar jauh lebih sedikit.
Banyak yang perlu dibenahi, seperti masalah administrasi pendaftaran. Sampai sekarang pembayaran masih dimungkinkan pembayaran langsung.
“Diharapkan pembayaran sudah dilakukan secara online seratus persen. Pembayaran tersebut langsung masuk ke kas negara, bukan ke LSF,” terang Erri lagi.
Lalu bagaimana LSF menyikapi membanjirnya film-film dan konten-konten yang ditayangkan langsung melalui media internet?
Erri menjelaskan terdapat dua strategi LSF untuk menyikapinya, “Yang pertama, mengembangkan budaya sensor mandiri dalam masyarakat. Mengajak masyarakat meningkatkan awareness dalam menghadapi tekanan teknologi informatika.”
Ia juga menjelaskan apa yang dimaksud dengan budaya sensor mandiri, yakni “melatih masyarakat untuk dapat bersikap lebih tegas terhadap konten perfilman Indonesia.”
Yang kedua, Erri melanjutkan, LSF mengimbau kepada para pembuat film atau rumah produksi untuk menyensorkan filmnya sebelum diedarkan ke masyarakat.
“Dengan memperoleh STLS (Surat Tanda Lulus Sensor), artinya LSF ikut bertanggung jawab apabila dalam peredarannya memperoleh permasalahan,” tegasnya.
Namun, terdapat proses tambahan supaya film kita bisa diputar di bioskop: format film yang kita buat harus disesuaikan dengan kebutuhan bioskop.
Selama ini kalau kita membuat video atau film untuk tayang di internet—kanal YouTube dan media sosial lainnya—cukup menggunakan format berkas MP4 atau MOV. Untuk bioskop, berkasnya berbeda. Kita harus menggunakan format DCP atau Digital Cinema Package.
Saya kelabakan karena tak pernah menggunakan format itu. Saya mencari-cari jasa untuk mengubah format ke DCP melalui internet. Harganya fantastis!
Hitungannya harganya per detik. Apabila film panjang bisa mencapai puluhan juta. Ada yang memberi penawaran Rp10 juta, ada juga yang sampai Rp24 juta untuk lima film yang saya buat.
Akhirnya, saya putuskan untuk mengubah sendiri ke format DCP. Saya dan anggota tim kerja saya mencari tahu. Untungnya pihak bioskop menyarankan untuk menggunakan perangkat lunak tak berbayar, DCP O-Matic yang bisa diunduh di internet.
Baca Juga: Kenapa Indonesia Bergradasi Warna Kuning di Serial 'The Last of Us'?
Baca Juga: Mengenal Ouija, Permainan Pemanggil Entitas Gaib dalam Film 'Veronica'
Baca Juga: Film 'Tegar' Menyerukan Kehidupan Masyarakat Indonesia yang Inklusif
Baca Juga: Namor, 'Villain' Film Black Panther 2 Diambil dari Mitologi Aztec
Cara ini sangat membantu insan perfilman, terutama film-film indi agar tak harus mengeluarkan dana besar untuk bisa tayang di bioskop.
Kami pun bisa mengubah ke format DCP dan penayangannya di bioskop pun sukses.
Apabila semua proses produksi, perizinan, sensor dan lainnya dalam dunia kreatif lebih dimudahkan lagi, banyak penggiat seni dan budaya akan bersemangat membuat produksi-produksi kreatif seperti musik, pertunjukan, dan film.
Mereka mencari dana sendiri, membuat pertunjukan sendiri, mengurus sensornya sendiri, sampai menyewa bioskop sendiri untuk menayangkannya.
Apalagi pemerintah berencana membangun bioskop-bioskop yang bersewa murah untuk penayangan film-film indi. Tujuannya, supaya dunia perfillman tidak dikuasai pemilik modal besar yang menentukan siapa yang berhak tayang di bioskopnya.
Maka, semua akan indah pada waktunya!
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR