Nationalgeographic.co.id—Dua spesies baru burung dilaporkan telah ditemukan di Pulau Papua atau New Guinea. Burung tersebut membawa racun atau toksin yang sama di kulit dan bulunya dan racun tersebut belum memiliki penawar hingga saat ini.
Perlu diketahui, mungkin banyak orang yang akrab dengan katak panah beracun di Amerika Selatan dan Tengah, terutama katak racun emas (Phyllobates terribilis). Katak tersebut membawa racun alkaloid neurotoksik kuat yang bernama batrachotoxin.
Batrachotoxin adalah alkaloid steroid kardio dan neurotoksik yang sangat kuat yang ditemukan pada spesies kumbang, burung, dan katak tertentu. Namanya berasal dari kata Yunani yaitu bátrachos.
Pada katak tertentu, alkaloid ini banyak terdapat pada kulit. Katak semacam itu termasuk yang digunakan untuk meracuni anak panah.
Batrachotoxin mengikat dan secara permanen membuka saluran natrium pada sel saraf dan mencegahnya menutup, mengakibatkan kelumpuhan dan kematian. Dan perlu diperhatikan, hingga saat ini belum memiliki penawar racun untuk batrachotoxin.
Temuan dua spesies baru burung ini menunjukan bahwa racun batrachotoxin lebih tersebar luas daripada yang diyakini sebelumnya.
Penemuan tersebut telah dilaporkan dalam sebuah makalah di jurnal Molecular Ecology dengan judul "Multiple mutations in the Nav1.4 sodium channel of New Guinean toxic birds provide autoresistance to deadly batrachotoxin."
Dijelaskan, toksisitas telah berevolusi secara independen berkali-kali di seluruh pohon kehidupan hewan, dengan contoh ikonik dari kelompok yang berbeda seperti ubur-ubur, cephalopoda, nudibranchia (moluska laut tanpa cangkang), serangga, laba-laba, dan vertebrata.
Senyawa beracun diproduksi oleh hewan atau simbion atau diperoleh melalui makanan hewan. Toksisitas memiliki fungsi penting terkait dengan perburuan, pertahanan, dan pencegahan parasit.
Racun diproduksi baik in situ oleh organisme beracun itu sendiri atau simbion terkait, atau diperoleh melalui makanan.
Kemampuan untuk mengeksploitasi toksin dari sumber luar memerlukan adaptasi yang mencegah efek toksik pada konsumen (autoresistance).
"Di sini, kami memeriksa adaptasi genomik yang dapat memfasilitasi autoresistensi terhadap batrachotoxin (BTX) alkaloid neurotoksik kuat yang didapat dari pola makan pada burung beracun New Guinea," tulis peneliti.
Sementara banyak spesies hewan dapat memakan makanan beracun, hanya sebagian kecil darinya yang telah mengembangkan kemampuan untuk menyerap racun yang tertelan untuk keuntungan mereka sendiri.
Vertebrata beracun membawa berbagai jenis racun, beberapa di antaranya bisa mematikan, meski dalam jumlah kecil.
Salah satu contohnya adalah batrachotoxin alkaloid yang ditemukan pada burung beracun di Pulau Papua dan pada katak panah racun Neotropical dalam genus Phyllobates.
“Kami berhasil mengidentifikasi dua spesies baru burung beracun dalam perjalanan terakhir kami,” kata Knud Jønsson, seorang peneliti di Museum Sejarah Alam Denmark.
"Burung-burung ini mengandung racun saraf yang dapat mereka toleransi dan simpan di bulunya."
Dua spesies burung beracun yang baru adalah regent whistler (Pachycephala schlegelii) dan rufous-naped bellbird (Aleadryas rufinucha).
“Kami sangat terkejut menemukan burung-burung ini beracun karena tidak ada spesies burung beracun baru yang ditemukan selama lebih dari dua dekade,” kata Jønsson.
“Terutama, karena kedua spesies burung ini sangat umum di bagian dunia ini.”
Jønsson dan rekan-rekannya juga membandingkan enam spesies burung beracun dari New Guinea, termasuk dua spesies yang mereka temukan beracun dalam penelitian mereka, dengan 21 spesies burung tidak beracun milik superfamili Corvoidea.
Mereka berfokus pada adaptasi genom yang dapat memfasilitasi resistensi terhadap batrachotoxin yang didapat dari makanan pada burung beracun.
Mereka menemukan bahwa burung-burung ini membawa banyak mutasi pada gen SCN4A yang berada di bawah seleksi positif.
Mereka mengatakan, penemuan tentang beberapa mutasi pada segmen pembentuk pori yang mengikat batrachotoxin dari gen SCN4A tersebut, mengurangi afinitas pengikatan batrachotoxin pada burung beracun.
Itu juga mengurangi penemuan mutasi sebelumnya pada gen yang sama pada katak Phyllobates. "Beberapa mutasi pada saluran natrium Nav1.4 burung beracun New Guinea memberikan ketahanan otomatis terhadap batrachotoxin yang mematikan," kata mereka.
"Menyiratkan bahwa adaptasi tingkat molekul berevolusi secara konvergen memberikan ketahanan otomatis terhadap batrachotoxin dalam dua klad vertebrata yang berkerabat jauh."
Baca Juga: Dunia Hewan: Spesies Baru Burung Penyanyi Bunting Diidentifikasi
Baca Juga: Ancaman untuk Benteng Kekaisaran Burung-burung Air di Teluk Jakarta
Baca Juga: Cerita di Balik Burung Phoenix yang Legendaris, Ada Makna Mengerikan
Baca Juga: Dunia Hewan: Ornitolog Mengevaluasi Pohon Keluarga Burung Berjalan
Meskipun mutasi ini berbeda dari yang ada pada katak panah racun Phyllobates Neotropical, mereka terjadi di segmen yang sama dari saluran Nav1.4.
Akibatnya, selain mengungkap keanekaragaman spesies burung beracun yang lebih besar daripada yang diketahui sebelumnya.
Pekerjaan mereka memberikan contoh yang menarik tentang adaptasi konvergen tingkat molekuler yang memungkinkan katak dan burung menelan dan menggunakan racun saraf yang sama.
“Mutasi ini ditemukan pada posisi berbeda dari gen SCN4A pada burung dan katak, dan bahkan pada posisi berbeda pada spesies burung beracun," kata mereka.
“Studi komparatif komprehensif lebih lanjut tentang burung dan katak diperlukan untuk meningkatkan pemahaman kita tentang evolusi resistensi batrachotoxin di seluruh lapisan vertebrata karismatik ini.”
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | Sci News,Molecular Ecology |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR