Nationalgeographic.co.id—Juwana, salah satu kota tua di pesisir utara Jawa. Ia bersanding dengan Rembang dan Lasem sebagai trio ‘Corong Candu’ Hindia Belanda, tempat berlabuhnya kapal-kapal berisi muatan candu/opium dari India dan Tiongkok yang dibawa ke Jawa.
Walau bukan lagi menjadi kota dagang, namanya masih lekat sebagai produsen bandeng duri lunak atau yang tenar disebut bandeng presto bumbu rempah sederhana namun bercita rasa istimewa rebutan oleh-oleh para pemudik atau wisatawan.
Pernah menjadi kota pesisir hiruk pikuk dengan perdagangan candu, kini Juwana tampak kehilangan pamor sebagai kota dagang kaya. Namun, masih ada jejak tinggalan kota lama yang sarat dengan bangunan objek yang diduga cagar budaya seperti bangunan hunian, klenteng, dan lanskap kota bersejarah.
Walau tak lagi menjadi kota dagang Jalur Rempah, kini Juwana menjadi salah satu daerah nelayan termakmur di Indonesia dengan status kecamatan dengan peti es ikan terbanyak di Indonesia.
Denyut vitalnya tampak melemah, namun masih menyisakan kegiatan tradisi baik budaya maupun tradisi melinting rokok kretek—di pabrik Rokok Kretek Tapel Koeda.
Pabrik kretek Tapel Koeda didirkan pada 1933 oleh The Hwie Tjan seorang pria kelahiran Juwana. Ia dibantu oleh saudara iparnya yang bernama Liem Kiem Biauw.
Liem memiliki kemampuan ramu racik tembakau dan cengkih serta mempunyai jaringan dagang rokok kretek dengan Kudus, yang waktu itu menjadi pusat industri kretek di Jawa.
Pada masa awal, Tapel Koeda hanyalah usaha kecil dengan lima pekerja, menempati rumah di Jalan Silugonggo No.31 Juwana. Rokok diperdagangkan di sekitar kota itu dengan sistem penjualan langsung. Pada masanya, produksi terbatas jumlahnya, nama produk pun belum dikenal luas.
Penggunaan nama Tapel Koeda berasal dari mitos dalam kebudayaan Jawa. Mitos menyebutkan, jika seseorang menemukan tapal kuda (sepatu kuda) terutama pada hari Jumat wage dianggap membawa keberuntungan dan keamanan bagi penemu beserta keluarganya.
Tapel Koeda semakin jaya pada 1938. Usaha rumahan pun berubah menjadi perusahaan dengan kapasitas produksi besar. Pada 1939, Liem Kiem Biauw mengundurkan diri dari perusahaan.
The Hwie Tjhan melanjutkan operasional pabrik kreteknya dengan bantuan adik laki-lakinya yang baru lulus sekolah di Hongkong—The Hwie Wan. Tak lama, The Hwie Wan mengundurkan diri dan membuka pabrk kreteknya sendiri di Kudus dengan jenama “BAN”.
Tahun 1942–1945, Tapel Koeda mengalami kemunduran karena pasokan tembakau dan cengkih sulit didapat. Berlanjut pada awal 1950, perusahaan rokok kretek ini kembali aktif dan berkembang hingga 1956. Perkembangan itu diikuti perubahan bentuk perusahaan CV. Puncak kejayaannya pada 1968.
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR