Nationalgeographic.co.id—Komunitas diaspora Korea yang muncul di Boston pada pertengahan abad ke-20 memiliki kisah sedih. Ini berkaitan dengan runtuhnya Dinasti Joseon Korea. Yi Ku ialah putra dari Putra Mahkota Yi Un dan cucu Kaisar Korea Kojong.
Ia mempelajari arsitektur di Massachusetts Institute of Technology di Amerika Serikat, sejak tahun 1953 hingga 1957. Jika Korea tidak jatuh ke tangan kolonial Jepang pada 1910, Yi Ku mungkin akan naik takhta menggantikan kakeknya.
“Seluruh hidup Yi Ku mencerminkan sejarah modern Korea yang terdistorsi,” tulis Hye Jin Lee di laman The Leadership of the Center for Global Christianity & Mission. Ia lahir di Tokyo, Jepang, pada tahun 1931. Saat itu, Korea diperintah oleh Jepang.
Ayahnya, Putra Mahkota Yi Un, dibawa ke Jepang pada tahun 1907. Sang ayah dipaksa menikah dengan seorang putri Jepang, Masako Nashimoto pada tahun 1920. Secara resmi, pernikahan ini diatur oleh Kekaisaran Jepang untuk memperkuat ikatan antara Korea dan Jepang melalui pernikahan kerajaan.
Ada desas-desus yang tersebar luas bahwa sang ibu didiagnosis tidak bisa memiliki keturunan. Sehingga pernikahan ini diatur oleh pemerintah kolonial Jepang untuk mengakhiri garis keturunan kerajaan Korea.
Meski demikian, Masako melahirkan dua putra, Chin dan Ku. Putra pertama, Yi Chin, lahir pada tahun 1921. Tragisnya, ia meninggal mendadak saat berkunjung ke Korea saat usianya baru 8 bulan. Penyebab kematiannya adalah dispepsia akut yang disebabkan oleh susu. Namun orang curiga jika sang putra pertama tewas diracun.
Dalam otobiografinya, Masako mengemukakan kecurigaan tentang penyebab kematian putranya. Dia menulis, “Susu yang kami berikan kepada bayi, untuk melengkapi pemberian ASI, mungkin patut dicurigai. Tetapi mungkinkah susu itu begitu beracun sehingga menyebabkan kondisi yang fatal dalam waktu sesingkat itu? Jika susunya benar-benar buruk, bayi saya seharusnya sudah sakit sejak awal dia tinggal di Korea.”
10 tahun kemudian, pasangan kerajaan itu melahirkan putra kedua mereka, Yi Ku. Ia menjadi putra mahkota resmi yang terakhir dari keluarga kerajaan Korea. Takut kehilangan anak lagi, orang tua Yi Ku tidak pernah membawanya ke Korea. Padahal, orang tuanya selalu melakukan perjalanan tahunan untuk memberi penghormatan ke makam leluhur dan mengunjungi kerabat.
Tumbuh di Jepang sebagai sandera, Pangeran Ku bermimpi belajar di luar negeri. Sayangnya, sampai kekalahan Jepang pada tahun 1945, dia tidak diizinkan meninggalkan negara itu.
“Bahkan Yi Ku kesulitan mendapatkan paspor dari Republik Korea yang baru didirikan,” kata Lee. Syngman Rhee, presiden pertama Republik Korea, enggan mengeluarkan paspor untuk keluarga kerajaan Korea yang tinggal di Jepang. Itu karena mereka takut akan memicu gerakan restorasi. Namun, dengan bantuan Kim Yongjung, Duta Besar Republik Korea untuk Jepang, Yi Ku akhirnya memperoleh paspor.
Menurut beberapa laporan, paspor dikeluarkan dengan syarat dia tidak akan bertindak sebagai pangeran Korea ketika di Amerika Serikat. Yi Ku berangkat ke Amerika Serikat pada 3 Agustus 1950, tak lama setelah pecahnya Perang Korea.
Yi Ku mendaftar di M.I.T. pada tahun 1953. Saat menjadi mahasiswa, dia bekerja di binatu untuk mendapatkan uang.
Meski dibesarkan sebagai bangsawan, sesama warga Korea di Amerika Serikat tidak memperlakukannya bak pangeran.
Saat menjadi mahasiswa di wilayah Boston, ia menghadapi kesulitan lain ketika paspornya habis masa berlakunya. Kali ini, Kedutaan Besar Korea di Amerika Serikat menolak untuk memperbaruinya.
Dengan bantuan teman-teman Jepang dan Amerika, ia menjadi penduduk tetap di Amerika Serikat pada November 1956.
Sikap tidak baik pemerintah Korea terhadap keluarga kerajaan juga ditunjukkan saat Yi Ku lulus dari M.I.T. pada 1957. Saat itu, pemerintah Korea menolak mengeluarkan paspor untuk ayah Yi Ku. Agar pergi ke Amerika Serikat untuk merayakan kelulusan putranya, Yi Un melepaskan kewarganegaraan Koreanya untuk mendapatkan paspor Jepang.
Masako menulis, “Yi Ku bukan orang Korea atau Jepang, karena tidak ada negara yang mendukungnya. Dia telah mengatasi kesulitannya sendirian dan menjadi manusia dunia.”
Setelah lulus, Yi Ku pergi ke New York dan bekerja sebagai arsitek dengan I. M. Pei sampai tahun 1963. Selama di New York, dia menikah dengan Julia Mullock, seorang wanita Ukraina-Amerika pada tanggal 23 Oktober 1959.
Baca Juga: Dangun, Pendiri Kerajaan Korea Pertama yang Dilahirkan oleh Beruang
Baca Juga: Anggrek Kimilsungia, Persahabatan Indonesia-Korea Utara Era Sukarno
Baca Juga: Alasan Wanita di Dinasti Joseon Menutupi Wajah saat Berada di Luar
Baca Juga: Kisah Hidup nan Memilukan Deokhye, Putri Terakhir Kekaisaran Korea
Yi Ku akhirnya mengunjungi Korea pada tahun 1963, dengan bantuan Presiden baru Park Chung-hee. Presiden Park memperoleh kekuasaan melalui kudeta militer dan ingin memanfaatkan keluarga Yi untuk mengamankan legitimasinya. Selama di Korea, Yi Ku mengajar arsitektur di Universitas Nasional Seoul dan Universitas Yonsei. Ia juga menjalankan perusahaan arsitekturnya sendiri, Shinhan.
Beberapa kendala mencegah Yi Ku menyesuaikan diri dengan baik dengan kehidupan di Korea.
Pertama, meskipun Korea bukan lagi monarki, dia ditekan oleh keluarganya untuk mengambil peran sebagai “putra mahkota”. Perkawinannya dengan seorang wanita kulit putih dan ketidakmampuan mereka untuk memiliki anak menambah tekanan. Akibatnya, kehidupan pernikahan mereka menderita.
Kedua, dia tidak fasih berbahasa Korea dan tidak memahami budaya Korea dengan baik. Pada tahun 1977, Yi Ku dan istrinya berpisah. Ketika perusahaannya bangkrut pada tahun 1979, dia kembali ke Jepang. Pada tahun 1982, pasangan tersebut bercerai. Yi Ku mulai hidup dengan seorang peramal Jepang, atau mudang, bernama Arita.
Mantan pangeran mengunjungi Korea dari waktu ke waktu hingga kematiannya pada tahun 2005, pada usia 74 tahun. Dia meninggal sendirian di Akasaka Prince Hotel, bekas kediaman orang tuanya di Tokyo.
Yi Ku dimakamkan dengan pakaian kerajaan. Lebih dari 1.000 orang, termasuk Perdana Menteri Korea, menghadiri pemakamannya. Setelah kematiannya, ia diberi gelar anumerta “Pangeran Kekaisaran Hoeun dari Korea” oleh Dewan Keluarga Yi.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR