Nationalgeographic.co.id—Zhao Duofu, dikenal Putri Roufu, adalah putri bangsawan dari Dinasti Song Kekaisaran Tiongkok. Sebagai keluarga kekaisaran, ia menghabiskan masa kecilnya dengan bahagia dan nyaman di istana. Seperti layaknya putri bangsawan, ia seharusnya menikah dengan pria dari keluarga terpandang dan hidup nyaman. Namun Insiden Jingkang yang tragis mengubahnya. Alih-alih hidup nyaman, ia ditangkap musuh dan dipermalukan.
Putri Duofu dan seluruh keluarganya ditangkap, dipermalukan, dan disiksa dengan kejam oleh musuh mereka. Bukan hanya itu, seorang penipu pun mencuri identitasnya dan berpura-pura menjadi dirinya. Putri palsu itu hidup nyaman sebagai putri bangsawan, sementara Doufu menderita di tangan musuh.
Putri Roufu terjebak dalam perang tragis
Duofu adalah putri Kaisar Zhao Ji dari Dinasti Song. Ayahnya adalah seorang seniman yang sangat berbakat, tetapi seorang raja yang tidak cakap.
Pada tahun 1126, Dinasti Jurchen Jin menginvasi Song. Zhao Ji segera menyerahkan takhta kepada putra sulungnya Zhao Huan. Lagi-lagi, Dinasti Song memiliki kaisar yang tidak kompeten lainnya.
Di bawah perintah absurd Zhao Ji dan Zhao Huan, jenderal dan pejabat brilian dihapuskan, sementara saran konyol diterapkan.
Sekitar satu tahun kemudian, ibu kota Song yang luar biasa diduduki. Melansir dari laman China Fetching, harta yang tak terhitung jumlahnya diambil atau dibakar.
Sang putri dan seluruh klan kekaisaran serta warga sipil yang tak terhitung banyaknya ditangkap.
Duofu adalah putri tertua (17 tahun) yang belum menikah. Jadi, dia dipersembahkan kepada Raja Jin.
Tetapi raja tidak terlalu menyukainya. Oleh sang raja, ia dikirim untuk mencuci pakaian selama bertahun-tahun setelah dipermalukan beberapa kali.
Bertahun-tahun kemudian, dia diperbudak oleh penguasa kuat lainnya dari rezim nomaden. Saat itu, Doufu dinikahkan dengan pejabat Song yang ditawan juga. Keduanya hidup dalam kemiskinan sejak menikah.
Pendirian Dinasti Song Selatan
Source | : | China Fetching |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR