Di setiap lokasi pertunjukan, senantiasa diupayakan untuk menjaring sebanyak mungkin orang. Misalnya, pada acara Ulang Tahun Perang Asia Timur Raya pada bulan Desember 1943.
Pada acara tersebut, pemutaran bioskop keliling berhasil menjaring jumlah penonton yang sangat besar. Sebut saja pemutaran bioskop keliling di Kotamadya Khusus Jakarta, berhasil menjaring 53.000 penonton.
Selain menjangkau penonton dari kalangan umum, bioskop keliling juga ditujukan untuk kalangan khusus seperti kelompok-kelompok romusha, buruh pabrik, dan anak-anak sekolah.
Begitulah, bioskop keliling yang dipraktikan oleh Pemerintah Pendudukan Jepang dalam hal tertentu. Sejatinya, Jepang telah memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi kehidupan masyarakat lewat sejarah bioskop keliling di Jawa.
Setelah kepergian Jepang dari Indonesia, praktik bioskop keliling atau layar tancap ini mulai kehilangan kekuatannya sebab tidak ada lagi pengusaha yang mau bersusah payah keluar masuk kampung untuk mengadakan pertunjukan.
Namun dalam perkembangan berikutnya, memasuki periode akhir 1960-an dan awal 1970-an, mulai tercetus keinginan untuk memutar film ke daerah yang belum terjamah oleh bioskop.
Para produser dan pengusaha bioskop menayangkan film melalui bioskop keliling ke berbagai desa. Ketika itu persebaran kaset, video kaset, atau fasilitas infrastruktur listrik masih terbatas. Hal inilah yang kelak dikenal dengan pertunjukan layar tancap yang marak hingga akhir 1990-an.
Source | : | jurnal Patanjala |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR