Nationalgeographic.co.id—Sejarah bioskop di Hindia Belanda bermula ketika diputarnya film pertama di Schouwburg pada akhir abad ke-19. Semenjak saat itu film dinantikan oleh segenap rakyat Hindia.
Meskipun hanya berupa gambar tak bersuara atau disebut "gambar idoep", tetap saja memiliki daya pikat bagi penggemar hiburan di Hindia Belanda.
Sejarah bioskop perintis semacam itu tetap saja menarik antusias, biarpun tak bersuara. Bahkan, gambar yang ditampilkan bergetar dan kerap goyang yang membuat mata sakit.
Sampai pada tahun 1942, industri perfilman sudah sangat digandrungi khalayak luas di Hindia Belanda. Ketika zaman berganti dan Hindia Belanda tamat, pemerintah Jepang menggunakan film sebagai peluang propaganda.
Heru Erwantoro menyebutkan dalam jurnal Patanjala berjudul Bioskop Keliling Peranannya dalam Memasyarakatkan Film Nasional dari Masa ke Masa (2014), bahwa dengan tujuan propaganda, pemutaran film diusahakan untuk menggapai sebanyak mungkin penonton.
Heru menambahkan, "Sayangnya jumlah bioskop yang tersedia hanya sedikit dan tingkat penyebarannya juga tidak merata." Situasi ini menjadi salah satu alasan kemunculan bioskop keliling dalam sejarah bioskop kita.
Melihat pentingnya arti film sebagai media propaganda, sejak awal pendudukannya, pemerintah militer Jepang telah melakukan kontrol sepenuhnya terhadap dunia perfilman.
"Staf propaganda Jepang yang menyertai operasi militer, menyita seluruh perusahaan perfilman," imbuhnya.
Maka dari itu, demi melaksanakan kebijakan di bidang perfilman, Sendenbu—badan propaganda bentukan Jepang di Jawa—pada Oktober 1942 membentuk Jawa Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa) yang dikepalai oleh Oya Soichi.
Oya Soichi, yang memandang sedikitnya jumlah gedung bioskop, tentu saja telah memikirkan upaya propaganda melalui media film untuk menjangkau masyarakat sebanyak-banyaknya demi ketercapaian tujuan mereka.
Dengan pandangan tersebut, pemerintah pendudukan Jepang mengupayakan adanya kegiatan pemutaran film langsung ke tengah-tengah masyarakat. Heru menyebut "kegiatan itu di kemudian hari dikenal dengan istilah 'Bioskop Keliling'." Demikianlah, semenjak saat itu sejarah bioskop keliling mulai bergulir.
Jepang telah mempunyai pengalaman panjang dalam bidang bioskop keliling. Atas pengalaman itulah mereka menerapkannya di Indonesia tanpa kesulitan berarti. Upaya pelaksanaan kegiatan bioskop keliling mulai dilaksanakan pada bulan Agustus tahun 1942.
Perkembangan sejarah bioskop keliling mulai marak ketika dibuat badan khusus penyelenggara bioskop keliling bernama Jawa Enhai. Kantor pusat Jawa Enhai telah menyiapkan film dan berbagai perlengkapan yang dibutuhkan di dalam upaya kegiatan bioskop keliling.
Mereka telah mengirim 48 operator film di wilayah pendudukan Asia Tenggara, dengan enam orang di antaranya dikirim ke Jawa.
Menjelang bulan Desember 1943, Jawa Enhai telah membentuk lima pangkalan operasional bioskop keliling di kota-kota besar di Jawa, yaitu di Jakarta, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, dan Malang.
Selain itu, dibentuk juga 15 tim pemutar film. Beberapa pangkalan dioperasikan oleh staf pribumi atau penduduk lokal di daerah tersebut. Mereka berkeliling dari satu desa ke desa lainnya. Mereka membawa proyektor film, generator, dan film (35 mm) di atas sebuah truk.
Masing-masing tim terdiri atas seorang anggota staf Jawa Enhai (biasanya seorang operator), seorang pegawai Sendebu setempat, seorang penerjemah, dan seorang sopir truk.
Kegiatan bioskop keliling yang berusaha untuk menjangkau seluruh desa yang terdapat di Pulau Jawa tentu saja tidak mungkin dilakukan mengingat begitu banyaknya jumlah desa yang ada.
Aiko Kurasawa dalam bukunya Mobilization and Control (1993) menyebut bahwa bioskop keliling biasanya diputar di ibu kota kecamatan dengan penonton dari berbagai desa yang terdapat di kecamatan itu.
Mengingat jarak yang berjauhan antara desa dengan desa, kegiatan Bioskop Keliling merupakan sebuah perjalanan safari yang memerlukan waktu yang cukup lama.
Peredaran bioskop keliling ini diketahui menyebar melalui operasionalisasi dari enam kota, yakni, dari Jakarta ke Bogor dan Banten. Dari Bandung ke Priangan, Cirebon, dan Banyumas. Dari Yogyakarta menyebar hingga Solo, Madiun, dan Kedu.
"Sedangkan dari Surabaya ke Bojonegoro dan Madiun. Lalu dari Malang ke Kediri dan Besuki," tulis Hari Jauhari dalam bukunya Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia, terbitan tahun 1992.
Di setiap lokasi pertunjukan, senantiasa diupayakan untuk menjaring sebanyak mungkin orang. Misalnya, pada acara Ulang Tahun Perang Asia Timur Raya pada bulan Desember 1943.
Pada acara tersebut, pemutaran bioskop keliling berhasil menjaring jumlah penonton yang sangat besar. Sebut saja pemutaran bioskop keliling di Kotamadya Khusus Jakarta, berhasil menjaring 53.000 penonton.
Selain menjangkau penonton dari kalangan umum, bioskop keliling juga ditujukan untuk kalangan khusus seperti kelompok-kelompok romusha, buruh pabrik, dan anak-anak sekolah.
Begitulah, bioskop keliling yang dipraktikan oleh Pemerintah Pendudukan Jepang dalam hal tertentu. Sejatinya, Jepang telah memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi kehidupan masyarakat lewat sejarah bioskop keliling di Jawa.
Setelah kepergian Jepang dari Indonesia, praktik bioskop keliling atau layar tancap ini mulai kehilangan kekuatannya sebab tidak ada lagi pengusaha yang mau bersusah payah keluar masuk kampung untuk mengadakan pertunjukan.
Namun dalam perkembangan berikutnya, memasuki periode akhir 1960-an dan awal 1970-an, mulai tercetus keinginan untuk memutar film ke daerah yang belum terjamah oleh bioskop.
Para produser dan pengusaha bioskop menayangkan film melalui bioskop keliling ke berbagai desa. Ketika itu persebaran kaset, video kaset, atau fasilitas infrastruktur listrik masih terbatas. Hal inilah yang kelak dikenal dengan pertunjukan layar tancap yang marak hingga akhir 1990-an.
Source | : | jurnal Patanjala |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR