Jepang telah mempunyai pengalaman panjang dalam bidang bioskop keliling. Atas pengalaman itulah mereka menerapkannya di Indonesia tanpa kesulitan berarti. Upaya pelaksanaan kegiatan bioskop keliling mulai dilaksanakan pada bulan Agustus tahun 1942.
Perkembangan sejarah bioskop keliling mulai marak ketika dibuat badan khusus penyelenggara bioskop keliling bernama Jawa Enhai. Kantor pusat Jawa Enhai telah menyiapkan film dan berbagai perlengkapan yang dibutuhkan di dalam upaya kegiatan bioskop keliling.
Mereka telah mengirim 48 operator film di wilayah pendudukan Asia Tenggara, dengan enam orang di antaranya dikirim ke Jawa.
Menjelang bulan Desember 1943, Jawa Enhai telah membentuk lima pangkalan operasional bioskop keliling di kota-kota besar di Jawa, yaitu di Jakarta, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, dan Malang.
Selain itu, dibentuk juga 15 tim pemutar film. Beberapa pangkalan dioperasikan oleh staf pribumi atau penduduk lokal di daerah tersebut. Mereka berkeliling dari satu desa ke desa lainnya. Mereka membawa proyektor film, generator, dan film (35 mm) di atas sebuah truk.
Masing-masing tim terdiri atas seorang anggota staf Jawa Enhai (biasanya seorang operator), seorang pegawai Sendebu setempat, seorang penerjemah, dan seorang sopir truk.
Kegiatan bioskop keliling yang berusaha untuk menjangkau seluruh desa yang terdapat di Pulau Jawa tentu saja tidak mungkin dilakukan mengingat begitu banyaknya jumlah desa yang ada.
Aiko Kurasawa dalam bukunya Mobilization and Control (1993) menyebut bahwa bioskop keliling biasanya diputar di ibu kota kecamatan dengan penonton dari berbagai desa yang terdapat di kecamatan itu.
Mengingat jarak yang berjauhan antara desa dengan desa, kegiatan Bioskop Keliling merupakan sebuah perjalanan safari yang memerlukan waktu yang cukup lama.
Peredaran bioskop keliling ini diketahui menyebar melalui operasionalisasi dari enam kota, yakni, dari Jakarta ke Bogor dan Banten. Dari Bandung ke Priangan, Cirebon, dan Banyumas. Dari Yogyakarta menyebar hingga Solo, Madiun, dan Kedu.
"Sedangkan dari Surabaya ke Bojonegoro dan Madiun. Lalu dari Malang ke Kediri dan Besuki," tulis Hari Jauhari dalam bukunya Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia, terbitan tahun 1992.
Source | : | jurnal Patanjala |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR