Nationalgeographic.co.id—Para ilmuwan dari puluhan negara di dunia telah membuat pohon kehidupan kupu-kupu. Mereka merangkainya dengan DNA lebih dari 2.000 spesies yang mewakili semua keluarga kupu-kupu. Hasilnya, para peneliti itu berhasil menemukan dari mana kupu-kupu pertama berasal.
Sekitar 100 juta tahun yang lalu, sekelompok ngengat penentu mulai terbang pada siang hari daripada malam hari. Mereka memanfaatkan bunga kaya nektra yang berevolusi bersama lebah.
Peristiwa tunggal ini kemudian mengarah pada evolusi semua kupu-kupu. Para ilmuwan telah mengetahui waktu yang tepat dari peristiwa ini sejak 4 tahun yang lalu, ketika analisis DNA skala besar mengabaikan hipotesis sebelumnya.
Analisis sebelumnya menempatkan evolusi kupu-kupu berawal dari tekanan dari kelelawar setelah kepunahan dinosaurus. Tapi sekarang, pohon kehidupan kupu-kupu terbesar di dunia telah memberikan jawaban yang tepat.
Dengan menggunakan kerangka kerja itu sebagai panduan, mereka menelusuri pergerakan dan kebiasaan makan kupu-kupu sepanjang waktu dalam teka-teki empat dimensi dunia hewan, yang mengarah ke Amerika Utara dan Tengah.
Hasil penelitian mereka tersebut telah diterbitkan di jurnal Nature Ecology and Evolution. Jurnal akses terbuka tersebut berjudul "A global phylogeny of butterflies reveals their evolutionary history, ancestral hosts and biogeographic origins" dengan penulis utama Akito Kawahara, kurator lepidoptera di Museum Sejarah Alam Florida.
“Ini adalah impian masa kecil saya,” katanya. “Itu adalah sesuatu yang ingin saya lakukan sejak mengunjungi Museum Sejarah Alam Amerika ketika saya masih kecil dan melihat gambar filogeni kupu-kupu yang ditempel di pintu kurator."
Menurutnya, ini juga studi tersulit yang pernah ia ikuti, dan butuh upaya besar-besaran dari orang-orang di seluruh dunia untuk menyelesaikannya.
Ada sekitar 19.000 spesies kupu-kupu, dan menyatukan sejarah 100 juta tahun kelompok tersebut membutuhkan informasi tentang distribusi modern dan tanaman inang mereka.
Sebelum penelitian ini, tidak ada satu tempat pun yang dapat dikunjungi peneliti untuk mengakses jenis data tersebut.
“Dalam banyak kasus, informasi yang kami butuhkan ada di panduan lapangan yang belum didigitalkan dan ditulis dalam berbagai bahasa,” kata Kawahara.
Tidak gentar, penulis memutuskan untuk membuat database mereka sendiri yang tersedia untuk umum. Mereka bersusah payah menerjemahkan dan mentransfer isi buku, koleksi museum, dan halaman web terisolasi ke dalam satu repositori digital.
Source | : | Nature Ecology & Evolution,Florida Museum of Natural History |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR