Pembelajaran di awal berdirinya Sekolah Dasar Taman Siswa mengarah pada penanaman pandangan hidup kepada segenap muridnya. Beberapa putra-putri dari Suwarya juga turut bersekolah di sana.
Ki Hajar Dewantara menekankan kepada cabang-cabang Taman Siswa untuk berkembang sesuai dengan budaya daerahnya sendiri, dan menentang adanya intervensi barat di dalam kurikulumnya. Inilah yang menjadikan Taman Siswa rintisan Suwarya berkembang sesuai budaya masyarakatnya.
Berkat upayanya, pendidikan sekolah dasar di Ciasem dapat terselenggara, di mana kaum bumiputera di sana berhak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan cara luhur Ki Hajar Dewantara dalam dunia mendidik generasi penerus bangsa.
Lebih-lebih, pasca kemerdekaan bangsa Indonesia, Taman Siswa menanamkan nilai patriotisme dan menumbuhkan identitas kebangsaan. Tujaunnya adalah untuk membentuk kemandirian mental bangsa setelah merdeka.
Di samping itu, Suwarya, sang pejuang pendidikan merupakan tokoh terkemuka yang hidup dengan bijaksana dalam masyarakatnya, dikenang oleh para murid dan keturunannya.
Nia mengenang filosofi hidup Suwarya yang dikisahkan dari sejarah lisan keluarganya, bahwa "suatu ketika, di usia senjanya, mbah Warya (sebutan keturunan Suwarya) menanam sebuah bibit pohon di kebun miliknya."
Dikisahkan Nia, ada seseorang yang kemudian bertanya sembari menyangsikan tindak Suwarya yang tengah menanam bibit pohon. Orang itu bertanya pada Suwarya, "apa guna pohon itu jika dia tumbuh di saat kamu tidak bisa menikmatinya?"
Suwarya menjawab: "ketika seseorang hidup, ia tidak akan hidup selamanya untuk dirinya sendiri, biarlah buah dari pohon ini dinikmati anak dan cucuku kelak."
Selayaknya pohon-pohon Suwarya, sekolah yang dirintisnya menjadi manifestasi sejarah dan investasi besar bagi bangsa Indonesia di generasi selanjutnya untuk menggapai cita-citanya sebagai bangsa yang maju, dan bercita-cita luhur.
Source | : | Repository UNJ |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR