"Ruang rumah sakit jiwa tidak pernah dapat memenuhi untuk menampung orang gila di Hindia Belanda," tulis responden Indische Courant.
Kisah sejarah kecil tentang pribumi gila yang meresahkan juga diungkap oleh Patrick Beck kepada Historiek dalam artikelnya berjudul Krankzinnig in Nederlands-Indië terbitan 6 Januari 2021.
Ia mengisahkan sejarah kecil tentang dua saudara gila, Amatardjo dan Amatredjo. Mereka diketahui berada dalam sel tahanan karena permasalahan kriminal sebelumnya. Ketika mereka diminta pihak lapas menebang pohon besar, sontak mereka terlihat menjadi 'linglung.'
Setelahnya, mereka dikabarkan berteriak-teriak tak karuan, menjadi liar dan membuat keonaran dalam selnya.
Meskipun dua hari kemudian mereka membaik setelah kekacauan yang disebabkan oleh dua bersaudara aneh itu, Landraad menyarankan untuk memasukkan mereka ke rumah sakit jiwa.
Nahas, ketika pihak lapas menghubungi rumah sakit jiwa, ruang-ruang di rumah sakit jiwa penuh akibat membludaknya jumlah pribumi yang mengidap penyakit mental dan kejiwaan di Hindia Belanda.
Dua bersaudara itu menunggu lima bulan dalam kondisi yang kejiwaan yang memprihatinkan. Begitulah kenyataan yang menyedihkan tentang fasilitas rumah sakit jiwa di Hindia Belanda.
Perawatan masalah kejiwaan di Hindia Belanda berkembang pesat dalam dekade pertama abad kedua puluh. Secara formal, rumah sakit jiwa di Hindia Belanda dimulai pada tahun 1896.
Sejarah kecil mencatat bahwa pembukaan rumah sakit jiwa pertama dilakukan di Buitenzorg (sekrang Bogor), di mana orang Eropa, pribumi, dan 'Orang Timur Asing' dirawat di sana.
Landraden—petugas yang berwenang untuk menerima seseorang pasien gila—menyebut bahwa pada kenyataannya kegilaan seseorang diukur berdasarkan "indikasi sosialnya."
Indikasi kegilaannya tergantung pada orang tersebut dianggap "berbahaya secara sosial, biasanya setelah anggota keluarga atau penduduk desa melaporkan tentang tindakannya yang meresahkan," tambah Beck.
Adapun kondisi rumah sakit jiwa yang kerap penuh dan tak mampu menampung banyak pasien gila disebabkan oleh dua hal: kurangnya ruang di rumah sakit jiwa dan kurangnya instrumen diagnostik yang tepat.
Tatkala seseorang mendadak menjadi agresif—mungkin karena penyakit menular atau tekanan hidup yang membuatnya menjadi liar—sudah pasti akan dicap gila oleh lingkungan sosialnya. Inilah yang membuat jumlah pribumi gila membludak di Hindia Belanda.
Bagaimanapun, kisah-kisah tentang pribumi gila yang meresahkan di Hindia Belanda akan tercatat dalam sejarah kecil. Suatu kondisi masa silam yang memprihatinkan, menjadi bangsa yang terjajah.
Source | : | Historiek |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR