Nationalgeographic.co.id—"Kejahatan perang Belanda". Begitulah kata pengacara atau polemologist Bert Röling dalam menggambarkan tragedi yang terjadi di dekat Sumatra pada awal tahun 1942.
Peristiwa ini menjadi catatan sejarah kelam tatkala kapal Belanda, Van Imhoff, karam di perairan dekat Sumatra. Röling menyebut sejarah kelam itu sebagai drama kejahatan perang yang dilakukan Belanda pada simpatisan Nazi.
Jerman di bawah payung Nazi, pernah menginvasi negeri Belanda pada 10 Mei 1940. Pada saat itu, ratu kerajaan Belanda, Ratu Wilhelmina, beserta kabinetnya melarikan diri ke London.
Invasi Nazi ini nampaknya telah berdampak kepada kondisi politik yang terjadi di Hindia Belanda. Orang Belanda menjadi kesetanan. Seluruh simpatisan Nazi di Hindia Belanda jadi bulan-bulanan, utamanya orang-orang Jerman.
"Orang-orang Jerman yang bekerja di Hindia Belanda ditangkapi oleh polisi (Hindia Belanda) dan diinternir dalam berbagai kamp, seperti di Ngawi, Jawa Timur," tulis Rosihan Anwar.
Ia menulis kisah tentang para simpatisan Nazi di Hindia Belanda dalam buku gubahannya berjudul Sejarah Kecil petite histoire Indonesia: Jilid 1 yang diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Buku Kompas pada 2004.
Kendati tidak semua orang Jerman menjadi pendukung Nazi, tetapi setidaknya mereka mendukung sosok Adolf Hitler. Hitler adalah seorang pemimpin bertangan besi bagi Nazi di Jerman.
Memasuki 8 Desember 1941, Jepang memborbardir Pearl Harbour, menyeret negara Asia Timur itu dalam Perang Pasifik. Belanda yang tergabung dalam ABCD-front (American, British, Chinese, Dutch) menjadi sasaran Jepang.
Jepang langsung merangsek masuk, "menyerbu bagian utara Kalimantan dan Sulawesi," imbuh Rosihan. Belanda yang tedesak, lekas-lekas mengangkut sejumlah interniran Jerman ke India yang kala itu di bawah kuasa Inggris.
Pada 19 Januari 1942, kapal Van Imhoff dipercaya untuk mengangkut 477 simpatisan Nazi itu ke India. Kapal ini mulai berlayar darl Pelabuhan Sibolga, Sumatra Utara.
Namun, tak berapa lama berselang, sebuah pesawat pengintai Angkatan Laut Jepang (Kaigun) menyerang kapal itu dengan menjatuhkan sebuah bom. Kapal pun mengalami sejumlah kerusakan dan mulai karam.
Tercatat sekitar "seratus sepuluh awak kapal Belanda dan para penjaga interniran Jerman menggunakan sekoci-sekoci mereka untuk menyelamatkan diri," lanjutnya. Lantas, bagaimana nasib para interniran?
Para interniran Jerman yang dikungkung di dalam dek kapal dibiarkan begitu saja. Mereka ditinggalkan oleh orang-orang Belanda, dibiarkan mati konyol. Hal ini yang kemudian membuat Belanda dicap melakukan kejahatan perang.
Segalanya tampak sangat suram bagi orang Jerman. Beberapa menjadi frustasi. Ketika menemukan minuman keras di kapal, mereka memilih untuk meneguknya hingga mabuk berat. Beberapa gantung diri atau memotong pergelangan tangan mereka.
Seorang dokter Jerman yang frustasi, meminum veronal (tablet tidur) sampai overdosis dan meninggal. Menjelang sore, lebih dari lima jam setelah kru dan detasemen keamanan mencari perlindungan, Van Imhoff menghilang, jatuh ke dasar laut.
Beruntungnya, satu komandan dari interniran Jerman ditinggalkan sebuah kunci. Inilah yang membuat para tahanan Jerman bisa keluar dari lambung kapal dan menyelamatkan diri. Sayangnya, tidak ada lagi sekoci tersisa.
Kapal segera karam, pelan-pelan terus terbenam segera dilahap deburan ombak. Seluruh perbendaharaan kapal yang memberatkan, dilemparkan ke laut, meski sia-sia. Kapal Van Imhoff kepalang rusak.
Mereka akhirnya menemukan satu kapal kerja (werkboot) dan beberapa rakit yang bisa digunakan untuk tetap mengapung dan menepi. Nahasnya, beberapa kapal yang melintas tak mau mengangkut para korban.
Werkboot dan dua rakit yang kepayahan itu terjebak dalam hujan deras. Saat cuaca cerah, salah satu rakit menghilang. Ada kemarahan di atas kapal kerja dengan orang-orang di rakit yang tersisa.
Beberapa orang Belanda yang turut dalam werkboot menolak untuk ikut mendayung, sehingga sekoci bergerak sangat lambat. Beruntung bantuan segera datang.
Pada 22 Januari 1942 atau tiga hari berselang, sebuah kapal penyelamat besar berhasil mengevakuasi 36 orang Jerman yang masih hidup. Mereka dibawa ke Pulau Nias dan menepi di pesisir pantai.
Sejumlah interniran yang frustasi langung menggantung dirinya karena tak tahan menderita. Baru sekitar 2 hari kemudian, pertolongan datang. Seluruh interniran Jerman yang selamat akhirnya di bawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan.
Catatan sejarah kelam dari peristiwa tenggelamnya Kapal van Imhoff menjadi kisah buruk hubungan para interniran Jerman dengan orang-orang Belanda di Hindia Belanda. Mereka menyebut Belanda telah melakukan kejahatan perang.
Publikasi tentang karamnya Kapal Van Imhoff mulai merebak di Jerman. Pada tahun 1964, Herman Wigbold, pemimpin redaksi kolom urusan terkini Vara, Achter het Nieuws, menempatkan kliping bahasa Jerman di meja karyawan lepasnya, Dick Verkijk.
Verkijk kemudian memvisualisasikan sejarah kelam itu, menjadi sebuah film dokumenter yang ditampilkan di TV. Filmnya berdurasi sekitar 25 menit dari materi yang telah genap terkumpul.
Namun, penyiaran dilarang pada 19 Januari 1965: bukan oleh pemerintah, melainkan oleh pimpinan Vara dalam diri sekretaris televisi, Jan Willem Rengelink. Dia mengambil langkah itu setelah panggilan telepon dari ketua Vara (dan anggota parlemen PvdA) Jaap Burger.
Setelah setahun, Wigbold mencoba lagi. Wigbold mempersingkat film dokumenter Verkijk (yang tidak lagi bekerja untuk de Vara) dari 25 menit menjadi 11 menit. Namun, lagi-lagi dia menemui larangan penyiaran.
Pada akhir tahun 1965 dan awal tahun 1966, pelarangan ini mendorong majalah mingguan Jerman, Der Spiegel, mencurahkan dua artikel padat untuk membahas topik tentang pelarangan hak siar film dokumenter Van Imhoff.
Akibatnya, ketua partai Henk Lankhorst dari Partai Pasifis-Sosialis (PSP) dua kali mengajukan pertanyaan tentang drama Van Imhoff. Berkat banyaknya desakan dari tokoh nasionalis dan akademisi, film dokumenter sejarah kelam Van Imhoff kembali dibuat.
Alhasil, pada akhir tahun 2017, penyiar televisi menyiarkan film dokumenter yang luar biasa tentang drama Van Imhoff melalui tiga bagian.
Lebih-lebih, pada April 2018, film dokumenter itu dianugerahi penghargaan untuk jurnalisme terbaik dalam kategori latar belakang sejarah. Film itu berhasil mengungkap sebuah sejarah kelam yang terjadi di Hindia Belanda, persisnya di perairan Sumatra.
Source | : | Historiek |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR