Butuh waktu bertahun-tahun untuk melatih pemanah tempur dengan benar. Sementara itu, mengoperasikan senapan api bisa dipelajari lebih cepat oleh para samurai.
“Namun, senjata tidak serta merta mengubah cara bertempur,” tambah Strusiewicz. Meskipun sangat canggih pada masanya, arquebus memiliki jangkauan efektif yang pendek dan rentan terhadap cuaca hujan.
Ditambah lagi, waktu pengisian yang lama membuat mereka kalah dengan kekuatan pemanah berpengalaman. Tapi kata kuncinya di sini adalah “berpengalaman”.
Butuh waktu bertahun-tahun untuk melatih pemanah tempur dengan benar, sementara mengoperasikan senapan dapat dipelajari lebih cepat. Karena alasan itu, tanegashima pun semakin populer di kalangan prajurit infanteri atau samurai.
Tetap saja, banyak komandan samurai pada saat itu lebih suka memenangkan pertempuran dengan cara lama. Seperti mengepung benteng, mengganggu jalur pasokan atau mengobarkan perbedaan pendapat di antara pengikut lawan mereka. Senjata api tidak benar-benar berpengaruh pada taktik tersebut. Saat itulah Oda Nobunaga muncul.
Peran Oda Nobunaga dalam penggunaan senjata api di Kekaisaran Jepang
Salah satu tuan tanah feodal dan komandan militer paling terkenal dalam sejarah, Oda Nobunaga melihat potensi senjata api sejak awal. Ia pun memesan 500 senjata api untuk pasukannya pada tahun 1549.
Nobunaga mengembangkan teknik baru seperti formasi lebih terkoordinasi untuk di medan pertempuran. Setelah itu, senjata api terbukti menjadi senjata yang efektif selama Pertempuran Anegawa dan Pertempuran Nagashino.
Penggunaan senjata api tumbuh begitu pesat. Fakta itu membuat Takeda Shingen mengatakan bahwa senjata api akan menjadi senjata paling penting.
Setelah Pertempuran Sekigahara tahun 1600, Tokugawa Ieyasu berhasil mempersatukan Kekaisaran Jepang dan memulai era damai. Era damai itu berlangsung selama 2,5 abad, dikenal sebagai Periode Edo.
Selama itu, senjata api masih diproduksi dan digunakan oleh para samurai, tetapi terutama untuk berburu. Selama masa damai, samurai lebih fokus pada seni tradisional Jepang. Karena itu, mereka menaruh banyak perhatian pada katana alih-alih senapan. Saat itulah Komodor Perry muncul.
Source | : | Tokyo Weekender |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR