Nationalgeographic.co.id – Umat Islam menggunakan istilah "Zaman Jahiliyah" untuk merujuk pada periode waktu dan keadaan Arab pra-Islam. Kata yang diterjemahkan menjadi "Zaman Kebodohan" ini memiliki konotasi negatif.
“Orang-orang Arab pada zaman ini diyakini telah berperilaku dengan cara-cara yang merusak dan penuh dosa, sering melakukan perjudian, minum anggur, riba, dan percabulan,” jelas Ilias Luursema, seorang penulis yang berfokus pada studi Timur Tengah dari University of Groningen, Belanda.
Politeisme–kepercayaan atau pemujaan kepada lebih dari satu Tuhan–juga sering disebutkan secara negatif sebagai karakteristik dari periode waktu tersebut. Satu-satunya hal positif yang diakui oleh Islam terhadap periode Jahiliyah adalah puisinya pada kala itu.
Menurut Ilias, pengetahuan kita tentang Jahiliyah sebagian besar berasal dari tradisi, legenda, dan puisi yang masih ada. “Karena sumber-sumber tertulis tentang periode tersebut terbatas.”
“Selain itu, kami mengandalkan sumber-sumber Islam seperti Alquran dan hadis,” imbuhnya. Meskipun sumber terbatas, dengan menggunakan semua informasi yang tersedia, “kita dapat melukiskan kehidupan pra-Islam di Arab.”
Kehidupan di Arab Jahiliyah
Orang-orang Arab Jahiliyah mengorganisir diri mereka berdasarkan garis kesukuan. Setiap suku cenderung dinamai sesuai dengan nama pemimpin terkemuka yang menjadi asal keturunan para anggotanya.
Suku-suku itu terdiri dari kelompok-kelompok keluarga kecil yang disebut klan. Mereka sering bersaing antara satu sama lain untuk mendapatkan kekayaan dan status. Namun, ketika ada ancaman yang lebih besar, klan-klan kecil ini biasanya akan menghentikan pertengkaran mereka dan bersatu untuk melawan.
Klan dipimpin oleh para syekh yang dipilih karena senioritas, kedermawanan, dan keberanian mereka. Para pemimpin klan ini biasanya memimpin sebuah dewan yang bertugas membuat keputusan penting dan memberikan penilaian.
“Ketika konflik antarsuku terjadi, dewan klan akan berkumpul untuk mencoba menyelesaikannya,” jelas Iliaas.
Selama periode Jahiliyah, tidak ada hukum yang ditetapkan. Orang-orang Arab dihakimi secara sewenang-wenang, dengan keberpihakan dan penyuapan menjadi hal yang biasa. Jika sebuah kasus dibahas dalam dewan suku, sering kali pihak yang memiliki “orang dalam” akan dibebaskan.
Sering kali ketika sebuah kejahatan dilakukan, pihak yang dirugikan mencoba untuk menghukum pelaku tanpa proses hukum. Terdakwa cenderung mencari perlindungan kepada sukunya, yang memiliki kewajiban untuk melindungi anggotanya.
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR