Orang Jepang belum pernah melihat kapal besar dan berteknologi maju, dan kedatangan mereka menandakan tantangan terhadap kebijakan isolasi Jepang.
Perry menolak untuk mengikuti protokol yang biasa berurusan dengan pejabat lokal dan bersikeras untuk mengirimkan surat dari Presiden Fillmore langsung ke perwakilan Kaisar Jepang.
Surat itu menguraikan tujuan AS: pembentukan hubungan diplomatik, pembukaan pelabuhan Jepang untuk kapal Amerika untuk persediaan dan perbaikan, dan perlakuan adil terhadap pelaut Amerika yang karam.
Perry meninggalkan surat itu kepada pejabat Jepang dan pergi, berjanji untuk kembali pada tahun berikutnya untuk mendapatkan tanggapan.
Sesuai dengan kata-katanya, Perry kembali pada Februari 1854 dengan armada yang lebih besar. Kali ini, dia bersiap untuk negosiasi yang panjang.
Orang Jepang, menyadari kekuatan militer yang ditunjukkan oleh armada Perry dan potensi ancaman yang ditimbulkannya, memutuskan untuk bernegosiasi daripada mengambil risiko konflik militer yang mereka tahu tidak dapat mereka menangkan.
Setelah berminggu-minggu negosiasi, Perjanjian Kanagawa ditandatangani pada tanggal 31 Maret 1854. Perjanjian itu, yang pertama antara AS dan Jepang, menandai berakhirnya kebijakan isolasi Jepang selama 220 tahun.
Apakah Perry Mencapai Semua Tujuannya?
Ekspedisi Komodor Perry ke Jepang didorong oleh kombinasi tujuan ekonomi, kemanusiaan, dan strategis.
Pertama, kepentingan ekonomi adalah yang terpenting. Amerika Serikat berada di tengah Revolusi Industri, dan industrinya yang sedang berkembang terus mencari pasar baru untuk barang-barang mereka. Jepang, dengan pasarnya yang belum dimanfaatkan, menawarkan peluang yang menggiurkan.
Selain itu, kapal penangkap paus Amerika yang beroperasi di Pasifik membutuhkan pelabuhan Jepang untuk mengisi bahan bakar dan memasok.
Meski Perjanjian Kanagawa tidak segera membuka Jepang untuk perdagangan Amerika, itu meletakkan dasar untuk perjanjian perdagangan di masa depan.
Source | : | History |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR