Nationalgeographic.co.id—Sebuah penelitian yang dipimpin ilmuwan Center for International Forestry Research (CIFOR) menunjukkan potensi hutan mangrove di Indonesia. Hutan mangrove Indonesia mampu menjaga wilayah pesisir serta menjadi mitigasi perubahan iklim secara global.
Hasil penelitian tersebut telah dipublikasikan di jurnal Nature Climate Change dengan judul "The potential of Indonesian mangrove forests for global climate change mitigation" yang dapat diakses daring.
Penelitian tersebut dipimpin oleh Daniel Murdiyarso peneliti CIFOR yang juga merupakan peneliti Department of Geophysics and Meteorology, Bogor Agricultural University.
Dijelaskan, hutan mangrove mampu menyediakan berbagai jasa ekosistem. Fungsi tersebut termasuk siklus unsur hara, pembentukan tanah, produksi kayu, tempat pemijahan ikan, ekowisata, dan penyimpanan karbon.
"Tingkat pertumbuhan pohon dan tanaman yang tinggi, ditambah dengan tanah anaerobik dan tergenang air yang memperlambat dekomposisi, menghasilkan penyimpanan karbon dalam jumlah besar dalam jangka panjang," tulis peneliti.
Oleh karena itu, hutan mangrove jelas sangat penting secara global. Hutan mangrove tidak hanya menjaga wilayah pesisir, tapi juga sebagai penyerap karbon dalam jumlah besar.
"Mencegah hilangnya hutan mangrove akan menjadi strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang efektif," tulis peneliti.
Untuk penelitian ini, para peneliti memperkirakan stok karbon hutan mangrove Indonesia. Dalam tiga dekade, Indonesia telah kehilangan 40% hutan mangrove, terutama akibat pengembangan budidaya perikanan.
Menurut mereka, hal tersebut telah menghasilkan emisi tahunan. Namun demikian, deforestasi mangrove tahunan di Indonesia hanya sebesar 6% dari total hilangnya hutan.
Akan tetapi, jika hal itu dihentikan, total emisi akan berkurang sebesar 10–31% dari perkiraan emisi tahunan dari sektor penggunaan lahan saat ini.
Konservasi hutan mangrove yang kaya karbon di kepulauan Indonesia harus menjadi komponen prioritas utama dalam strategi mitigasi perubahan iklim dan menjaga wilayah pesisir.
Konservasi hutan mangrove
Secara global, deforestasi dan konversi hutan mangrove terbukti menyumbang sekitar 10% dari total emisi global. Hal tersebut akibat deforestasi hutan tropis, meskipun hutan mangrove hanya menyumbang sekitar 0,7% dari hutan tropis di seluruh dunia.
Hilangnya karbon dari konversi mangrove, bisa jadi tinggi bukan hanya karena hilangnya karbon di atas permukaan tanah namun juga di bawah permukaan tanah.
Pada tahun 1980, terdapat 4,2 hektar hutan mangrove di sepanjang 95.000 km garis pantai Indonesia. Namun, hanya dalam waktu 20 tahun, tutupan hutan mangrove telah menurun sekitar 26%.
Jumlah tutupan mangrove menjadi sekitar 3,1 juta hektar Pada tahun 2005. Sementara, tutupan hutan mangrove semakin berkurang menjadi 2,9 juta hektar.
Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), secara kumulatif Indonesia telah kehilangan 30% hutan mangrove antara tahun 1980 dan 2005. Jumlah ini setara dengan laju deforestasi tahunan sebesar 1,24%.
Perkiraan terkini mengenai Indonesia adalah, tutupan hutan mangrove menunjukkan hilangnya total 40% dalam tiga dekade terakhir.
Dari semua itu, pengembangan budidaya perikanan merupakan penyebab utama. Setelah berkembang pesat pada tahun 1997–2005, budidaya perikanan menghasilkan luas kolam aktif yang tercatat secara resmi sekitar 0,65 juta hektar.
Dilaporkan juga bahwa pendapatan dari ekspor udang mendekati US$ 1,5 miliar pada tahun 2013. Hampir 40% dari total pendapatan berasal dari sektor perikanan Indonesia.
Karena sebagian besar negara tidak memiliki informasi yang cukup untuk memasukkan mangrove ke dalam pelaporan nasional mereka ke PBB, maka penting untuk menghasilkan data spesifik negara atau wilayah mengenai stok karbon dan faktor emisi dari berbagai aktivitas penggunaan lahan di mangrove.
Dalam Komunikasi Nasional terbaru11 pada Kerangka Kerja PBB, Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC), Indonesia tidak secara khusus memasukkan mangrove, karena Pedoman IPCC untuk inventarisasi gas rumah kaca (GRK) lahan basah baru tersedia pada tahun 2013.
IPCC adalah Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim. Organisasi antar pemerintah ini terdiri dari para ilmuwan dari seluruh dunia untuk memajukan pengetahuan tentang perubahan iklim akibat aktivitas manusia.
Sementara itu, hutan mangrove di Indonesia menghadapi tekanan pembangunan yang luar biasa. Meskipun faktanya pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan dapat berkontribusi besar dalam memenuhi usulan target penurunan emisi gas rumah kaca nasional sebesar 26–41% pada tahun 2020.
Jika tindakan konservasi dilakukan, emisi dari konversi mangrove akan berkurang. Namun, untuk menjadi bagian dari kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca berbasis lahan, diperlukan informasi mengenai penyimpanan karbon dan dinamikanya.
"Sejalan dengan hal ini, kami memetakan dan menghitung total stok karbon mangrove nasional, dan membandingkan tren penurunan kawasan mangrove dengan produksi udang dan emisi CO2," para peneliti menjelaskan.
Thailand, Vietnam, dan Indonesia merupakan tiga negara teratas ekspor udang. Indonesia memiliki total cadangan karbon terbesar dan laju deforestasi tertinggi (52.000 ha per tahun) di antara negara-negara tersebut.
Hal itu mungkin terkait erat dengan perluasan tambak udang dan tren produksi udang selama tiga dekade terakhir.
Sebaliknya, Thailand memiliki tingkat deforestasi yang rendah namun memiliki produksi udang tertinggi di dunia. Hal ini karena industri udang Thailand bergantung pada sistem input tinggi yang intensif.
Selain itu, sepertiga hutan bakau di Thailand dihancurkan sebelum tahun 1980. Sebaliknya, di Vietnam, meskipun luas hutan bakaunya relatif kecil, laju deforestasi yang tinggi sebesar 1,67% menyebabkan Vietnam melampaui Indonesia dalam produksi udang pada tahun 2002.
Negara-negara seperti Bangladesh dan Malaysia mungkin telah melindungi hutan bakau mereka dan tidak melakukan konversi.
"Sedangkan Filipina dan Republik Dominika telah kehilangan lebih dari separuh tutupan hutan bakau mereka sejak tahun 1985 hingga 2005," tulis peneliti. "Sehingga tidak dapat mendukung industri udang atau kegunaan lahan lainnya."
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.
Source | : | Nature Climate Change |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari, program KG Media yang merupakan suatu rencana aksi global, bertujuan untuk menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
KOMENTAR