Sebagian dari kompleks tersebut dipotong dari Gunung Kuh-e Rahmet (Gunung Rahmat). Rongga-rongga tersebut diisi dengan tanah dan batu, diikat dengan klip logam.
Pasokan air tawar, sistem pembuangan limbah, dan sistem drainase air tanah direncanakan dengan baik. Semuanya berfungsi dengan baik berkat teknik yang canggih. Para insinyur memanfaatkan beberapa teknik untuk memastikan pasokan dan sistem limpasan air banjir yang memadai.
Bangunan-bangunan tersebut dibangun dengan batu bata lumpur dan balok-balok batu besar yang dipotong secara presisi. “Semuanya disusun tanpa mortar,” ungkap Gleimius. Permukaan balok batu kapur abu-abu ini dipoles hingga tampak berkilau seperti marmer.
Apadana atau ruang audiensi raja
Darius Agung memulai proyeknya dengan aula dewan dan istananya. Berikutnya adalah tangga ganda yang besar dan lebar, yang dikenal sebagai tangga Persepolitan.
Apadana adalah aula audiensi sepanjang 61 meter yang memiliki atap balok kayu cedar dari Lebanon. Aula ini menjadi reruntuhan yang paling terkenal. Atapnya ditopang oleh 72 kolom, 19 meter di atas permukaan teras. Di setiap kolom terdapat patung binatang, seperti singa dan banteng, yang melambangkan otoritas raja.
Para pejabat tinggi dari wilayah Kekaisaran Persia Akhemeniyah datang membawa hadiah dan memberi penghormatan di Apadana.
Menurut Herodotus, sejarawan Yunani, Darius Agung membangun Persepolis untuk membuat semua orang terkesan.
Xerxes, putra Darius Agung yang melanjutkan pembangunan Persepolis
Di Gerbang Segala Bangsa, Xerxes, penerus Darius Agung, membangun sebuah istana megah dengan ruang audiensi. Xerxes terkenal karena kekejaman dan sifat borosnya. Dia bersikeras agar istananya berukuran dua kali lipat istana ayahnya. Aula audiensi menampilkan atap kayu cedar yang ditopang oleh empat tiang setinggi 18 meter.
Harem berbentuk L dengan tiga pintu berhias, dan pintu rahasia keempat yang menghubungkan langsung ke istana. Harem tersebut menampung 22 apartemen.
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR