Nationalgeographic.co.id—Pada Abad Pertengahan, seseorang menyampaikan status tidak hanya melalui kastil yang megah atau dengan memiliki banyak pasukan. Gaun, doublet, dan perlengkapan lainya juga sama pentingnya untuk membedakan antara putri dan petani.
“Cara paling umum untuk mengekspresikan status melalui pakaian pada Abad Pertengahan adalah dengan menggunakan bahan yang lebih mahal,” kata Simon Duits, seorang penulis sejarah Abad Pertengahan.
Pada awal Era Abad Pertengahan, ada perbedaan yang cukup sederhana antara wol, linen dan sutra. Wol adalah bahan yang paling dasar. Domba relatif murah untuk dipelihara, sehingga kebanyakan orang miskin mengenakan wol.
Meskipun memiliki harga yang terjangkau, wol terasa keras di kulit, olehkarenannya bahan linen dipilih sebagai pakaian dalam. Dan mereka yang mampu membelinya, akan menggunakan linen untuk pakaian luar juga.
Bagi kaum bangsawan atau keluarga kerajaan, mereka lebih memilih bahan sutra dari Timur Jauh atau katun dari mesir dan Arab. Bahan-bahan ini adalah sesuatu yang hanya dapat dibeli oleh orang yang paling kaya.
Berbeda dengan kaum barbarian, tanpa memandang status, keseluruhan dari mereka mengenakan wol. Bahan ini sangat cocok dengan iklim Eropa Utara yang dingin.
Selain beberapa bahan yang telah disebutkan sebelumnya, tunik juga menjadi pilihan untuk pakaian luar. Tunik menjadi barang dagang selama sebagian besar Era Abad Pertengahan.
Pakaian Raja dan Bangsawan dalam Sejarah Abad pertengahan
Pada zaman itu, seperti halnya pada zaman kita, orang-orang senang menunjukkan pengaruh mereka. Cara penting untuk membedakan status saat mengenakan tunik adalah panjangnya. Semakin panjang tunik tersebut, semakin tinggi kedudukan Anda.
Simon menjelaskan, tunik yang lebih pendek diasosiasikan dengan pekerjaan kasar dan dengan demikian lebih umum digunakan. “Tunik yang panjang lebih tidak praktis untuk dipakai. Oleh karena itu, para bangsawan mengenakannya dengan bangga.”
'Aturan' mengenai panjang tunik memang menghadirkan masalah tersendiri. Di beberapa daerah yang memiliki iklim ekstrim, sulit untuk mengikuti aturan tersebut.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR