Radar, teknologi baru pada tahun 1940, membuka peluang bagi perempuan dalam Angkatan Udara Kerajaan Inggris Raya (RAF) sebagai plotter atau pengatur lalu lintas udara. Mereka bertugas mengarahkan pesawat tempur malam ke sasaran yang dituju.
Para perempuan tersebut biasanya adalah perwira, memiliki kompetensi dan sangat terlatih. Selain itu, perempuan juga diterima dalam unit anti-pesawat terbang, mengoperasikan meriam dan lampu sorot.
Pada Perang Dunia Pertama, pesawat umumnya digunakan untuk pengintaian, pengawalan, dan hanya beberapa serangan udara. Pada Perang Dunia II pesawat menjadi sangat penting, dan memiliki pekerjaan yang kompleks.
Amerika serikat merupakan satu-satunya negara yang tidak mengalami serangan udara dari pesawat pembom musuh di wilayahnya saat perang.
Sementara itu, Whittaker menjelaskan, di negara-negara lain, terutama di Inggris, perusahaan-perusahaan atau fasilitas-fasilitas penting menjadi target serangan udara musuh, sehingga perlu dilindungi.
“Di Inggris, 190.000 perempuan bertugas, sehingga memberi ruang bagi para pria untuk bertugas di garis depan,” kata Whittaker.
Perempuan dilarang terbang dalam Perang Dunia I, namun semuanya berubah ketiikat Perang Dunia II terjadi. Angkatan Udara Kerajaan Inggris dan Angkatan Udara Amerika Serikat dengan cepat mengorganisir badan militer baru pada tahun 1939: Air Transport Auxiliary (ATA) dan Women Airforce Service Pilots.
Masing-masing membutuhkan setidaknya seratus jam pelatihan. Pilot perempuan mengangkut pesawat untuk diperbaiki, mengangkutnya ke tempat yang dibutuhkan, melakukan penarikan target, dan melakukan pemeriksaan penerbangan.
Perang Dunia II: Perempuan dalam Pekerjaan Industri
Peran industri di galangan kapal, pabrik, dan perkebunan membutuhkan pekerja perempuan, tidak seperti jumlah kecil yang dipekerjakan pada Perang Dunia I.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR