Mercusuar ini dibangun oleh arsitek terkenal Sostratus dari Cnidus. Keduanya mendapatkan bantuan dari para ahli matematika Aleksandria yang tak terhitung jumlahnya di pulau Pharos.
Mercusuar dibangun untuk melindungi kapal-kapal yang mengunjungi Aleksandria dari terumbu karang di sekitar kota. Meskipun sudah lama hancur, bangunan ini diyakini menjulang setinggi 121,92 m. Cakram kuningan monumental di kepalanya yang memantulkan cahaya obor ke laut.
Sepanjang keberadaannya, Aleksandria menjadi rumah bagi beberapa filsuf terbesar dunia kuno. Hal ini mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Romawi. Saat itu, Aleksandria akhirnya mengambil alih posisi Athena sebagai pusat pembelajaran filsafat.
Aleksandria tetap menjadi pusat para filsuf hingga abad ke-7 dalam sejarah dunia kuno. Semua hal besar harus berakhir dan ini berlaku bagi Aleksandria, sebagai ibu kota intelektual. Pada tahun 642 bangsa Arab yang dipimpin oleh Amr ibn al-As menginvasi Aleksandria. Kota tersebut jatuh pada tahun berikutnya. Ketika berbagai kerajaan Islam menyebar, pusat-pusat pembelajaran pertama-tama bergeser ke Damaskus dan kemudian Bagdad.
Masa keemasan Aleksandria pun berakhir dalam sejarah dunia kuno. Selama berabad-abad Perpustakaan Besarnya dibakar, dijarah, dan dibakar lagi. Sementara mercusuar dihancurkan oleh perang dan alam. Pada akhirnya sebagian besar kota kuno itu ditelan laut akibat penurunan permukaan tanah dan naiknya permukaan air laut.
Namun warisan kuno kota ini masih tetap ada hingga kini. Selama berabad-abad, Aleksandria adalah tempat pertukaran pengetahuan dan gagasan secara bebas. Sementara Perpustakaan Aleksandria yang megah menjadi magnet bagi para sarjana, menampung beragam teks dari beragam budaya. Sebuah contoh cemerlang tentang apa yang terjadi ketika orang kaya dan berkuasa menggunakan kekuasaan mereka untuk kemajuan intelektual.
Warisan Aleksandria adalah mercusuar pencerahan, hal ini mendorong inovasi dan membentuk jalannya sejarah manusia selama berabad-abad.
Source | : | Ancient Origins |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR