Nationalgeographic.co.id–Sejarah Abad Pertengahan adalah suatu periode yang ditandai dengan berdirinya istana-istana megah, para kesatria berbaju zirah.
Di lain sisi juga merupakan suatu masa yang penuh dengan ketakutan dan penderitaan mendalam karena maraknya penyebaran penyakit mematikan hingga pada akhirnya muncul sosok Plague Doctor atau Dokter Wabah.
Mengenakan kostum khas dengan topeng mirip paruh, para praktisi medis ini menjadi pejuang garis depan dalam pertempuran melawan wabah.
Munculnya Dokter Wabah sangat terkait dengan sejarah Black Death atau Kematian Hitam, salah satu pandemi paling mematikan dalam sejarah manusia.
Penyakit ini pertama kali menyerang Eropa pada tahun 1347, tiba dengan kapal dagang yang dipenuhi tikus yang terserang wabah.
Dalam kurun waktu lima tahun, penyakit ini memusnahkan 30% hingga 60% populasi Eropa. Skala bencana tersebut begitu besar sehingga memerlukan penciptaan peran khusus untuk memberantasnya - Dokter Wabah.
Dokter Wabah Awal sering kali adalah dokter atau ahli bedah kelas dua yang tidak mampu menjalankan praktik dengan sukses, mahasiswa kedokteran yang masih dalam pelatihan, atau bahkan individu tanpa latar belakang medis profesional.
Mereka dipekerjakan oleh kota-kota besar dan kecil. Tugas utama mereka adalah merawat korban wabah, terlepas dari status sosial mereka.
Para dokter ini juga ditugaskan untuk mencatat kematian akibat wabah di catatan publik, sebuah statistik suram yang membantu pihak berwenang mengukur tingkat keparahan wabah.
Salah satu aspek paling khas dari Dokter Wabah adalah kostum unik mereka, yang kemudian menjadi simbol ikonik Black Death.
Kostum itu bukan sekadar untuk pertunjukan. Namun, dirancang dengan tujuan untuk melindungi para dokter dari penyakit mematikan yang mereka lawan.
Kostum tersebut pertama kali dideskripsikan oleh Charles de Lorme, seorang dokter terkemuka abad ke-17 yang sering dianggap sebagai penemunya.
Menurut de Lorme, kostum itu "terbuat dari kulit Maroko," dan dirancang untuk menutupi seluruh tubuh dokter, melindunginya dari potensi infeksi.
Ciri yang paling dikenal dari kostum Dokter Wabah adalah topengnya yang berbentuk seperti paruh. 'Paruh' ini bukanlah pilihan desain yang aneh; itu memiliki tujuan praktis. Paruhnya berisi zat aromatik dan jerami yang dipercaya dapat menyucikan udara yang dihirup dokter.
Hal ini didasarkan pada teori racun penyakit yang lazim pada saat itu, yang mendalilkan bahwa penyakit menyebar melalui 'udara buruk'.
Kostumnya juga termasuk topi bertepi lebar, yang menunjukkan profesi dokter, dan mantel panjang berlapis lilin.
Mantel tersebut, bersama dengan celana kulit, sarung tangan, dan sepatu bot, menciptakan penghalang antara dokter dan dunia luar.
Untuk lebih melindungi diri mereka sendiri, para dokter membawa tongkat kayu yang mereka gunakan untuk memeriksa pasien tanpa menyentuh mereka.
Terlepas dari tujuan praktisnya, kostum itu jauh dari sempurna. Pemahaman tentang penularan penyakit masih belum sempurna selama Abad Pertengahan, dan kostum tersebut memberikan perlindungan terbatas.
Namun, hal ini memberikan kenyamanan psikologis bagi para dokter dan membuat mereka mudah dikenali di tengah orang banyak.
Bagaimana cara dokter mencoba menyembuhkan wabah tersebut?
Praktik dan perawatan medis yang dilakukan oleh Dokter Wabah mencerminkan pemahaman medis pada saat itu, yang sayangnya masih kurang memadai. terbatas.
Teori kuman penyakit, yang mendasari pengobatan modern, baru dikembangkan berabad-abad kemudian. Sebaliknya, teori yang banyak beredar adalah teori miasma, atau "udara buruk". yang diyakini menjadi penyebab wabah dan banyak penyakit lainnya.
Dokter Wabah diketahui menggunakan berbagai pengobatan, banyak di antaranya dianggap aneh atau bahkan berbahaya menurut standar saat ini.
Pertumpahan darah, misalnya, adalah praktik yang umum. Tindakan ini melibatkan pemotongan pembuluh darah pasien dan membiarkan mereka mengeluarkan darah, dengan keyakinan bahwa hal ini akan menyeimbangkan "humor" di dalam tubuh - darah, dahak, empedu hitam, dan empedu kuning - dan dengan demikian memulihkan kesehatan.
Pengobatan umum lainnya adalah penggunaan "air wabah" ramuan berbagai tumbuhan dan terkadang bahkan zamrud atau emas yang dihancurkan. Hal ini bisa diminum oleh pasien atau dioleskan pada bubo mereka - pembengkakan yang menyakitkan yang merupakan ciri khas wabah.
Selain pengobatan tersebut, Dokter Wabah juga bertanggung jawab memberikan nasehat kesehatan kepada masyarakat. Hal ini sering kali mencakup anjuran untuk menjaga kebersihan pribadi, membersihkan rumah, dan menghindari tempat keramaian.
Mereka juga memberikan nasihat tentang kebiasaan makan, menyarankan makanan yang diyakini dapat memperkuat tubuh melawan wabah.
Ketika Kematian Hitam melanda Eropa, Dokter Wabah menjadi pemandangan umum, topeng berparuh dan jubah panjang mereka menjadi pengingat akan hal tersebut.
Di satu sisi, Dokter Wabah dipandang sebagai sosok harapan. Seringkali mereka satu-satunya pihak yang bersedia merawat orang yang menderita, dan bertualang ke daerah-daerah yang bahkan ada pendetanya takut untuk melangkah.
Bagi mereka yang sakit dan sekarat, kedatangan Dokter Wabah dapat menjadi pembeda antara hidup dan mati. Sementara bagi yang sehat, kehadiran mereka merupakan jaminan bahwa upaya sedang dilakukan untuk memerangi wabah tersebut.
Di sisi lain, Dokter Wabah juga merupakan sosok yang ditakuti. Kostum khas mereka, yang dirancang untuk perlindungan, terasa asing dan mengintimidasi perasaan tidak nyaman dan teror secara keseluruhan.
Selain itu, mengingat tingginya angka kematian akibat wabah dan terbatasnya efektivitas pengobatan, kemunculan Dokter Wabah sering kali menandakan kematian yang akan datang.
Persepsi masyarakat terhadap Dokter Wabah semakin diperumit dengan status sosial mereka. Banyak Dokter Wabah bukanlah dokter yang berkualifikasi penuh, melainkan individu yang mengambil peran tersebut karena kebutuhan atau peluang.
Hal ini, ditambah dengan biaya yang tinggi dan ketidakefektifan pengobatan mereka, sering kali menimbulkan kecurigaan dan kebencian dalam sejarah Abad Pertengahan.
Kala Terbunuhnya De Bordes oleh Depresi, Jadi 'Sejarah Kecil' di Hindia Belanda
Source | : | History Defined |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR