Nationalgeographic.co.id – Kehidupan Alcibiades, negarawan dan jenderal Athena dipenuhi dengan kontroversi saat ia mengarungi lautan politik sejarah Yunani kuno yang bergejolak.
Lahir dari keluarga bangsawan Athena dan murid filsuf besar Socrates, ia menjadi pemain penting dalam Perang Peloponnesia. Hidupnya penuh dengan kemenangan militer, pengasingan yang dramatis, perilaku yang penuh skandal, dan kemunculan kembali yang tak terduga, meninggalkan warisan seorang pria karismatik sekaligus tak terduga.
Masuknya Alcibiades ke dalam Politik Athena
Pada awal tahun 420-an SM, Alcibiades telah muncul sebagai tokoh terkemuka di Athena dalam sejarah Yunani kuno. Dia memanfaatkan latar belakang aristokratnya, karisma, dan bimbingan yang ia terima dari tokoh-tokoh seperti Socrates.
Awal karier politiknya ditandai dengan perpaduan antara populisme dan manuver cerdik, yang memungkinkannya mendapatkan dukungan baik dari kalangan elite maupun rakyat biasa di Athena.
Awalnya, Alcibiades adalah pendukung setia Athena, memanfaatkan garis keturunan aristokrat dan karismanya untuk menaiki tangga politik.
Alcibiades memainkan peran penting dalam Perang Peloponnesia, sebuah konflik yang membentuk kembali dunia Yunani kuno. Salah satu momen penting kebangkitan Alcibiades adalah pembelaannya untuk Ekspedisi Sisilia pada tahun 415 SM.
Pidatonya yang persuasif dan visi strategisnya meyakinkan Athena, meskipun ada tentangan dari unsur-unsur yang lebih konservatif termasuk saingannya, Nicias.
Menjelang Ekspedisi Sisilia, dia terlibat dalam skandal mutilasi Hermai, patung keagamaan di Athena. Patung-patung yang dikeramatkan oleh dewa Hermes ini, dirusak pada malam sebelum ekspedisi dijadwalkan berangkat.
Meskipun tidak ada bukti nyata yang memberatkannya, Alcibiades banyak dicurigai terlibat, sebagian karena reputasinya yang tidak sopan dan tuduhan sebelumnya atas tindakan tidak beriman, termasuk mengejek Misteri Eleusinian dalam pertemuan pribadi.
Tuduhan yang dibantahnya ini membayangi kepergiannya bersama armada Sisilia. Meskipun ia meninggalkan Athena dalam posisi komando, tuduhan tersebut menyebabkan dia dipanggil kembali untuk diadili.
Selanjutnya, hubungan Alcibiades dengan Athena memburuk ketika ia dipanggil kembali dari Sisilia pada tahun 415 SM untuk menghadapi tuduhan ketidaksopanan.
Merasa dikhianati dan takut akan nyawanya, ia membelot ke Sparta, musuh utama Athena, pada tahun 414 SM dalam catatan sejarah Yunani kuno. Di Sparta, ia membentuk aliansi dengan Raja Agis II, menawarkan pengetahuannya tentang strategi Athena dan memberi nasihat mengenai taktik militer melawan Athena.
Pembelotan ini menandai perubahan besar dalam kesetiaannya, ketika ia berubah dari pemimpin terkemuka Athena menjadi penasihat musuh terberat Athena.
Pendudukan Sparta di Decelea pada tahun 413 SM, sebuah strategi yang ia usulkan, merupakan pukulan telak bagi Athena, memutus pasokan dan sumber daya penting.
Nasihatnya untuk membentengi Decelea dan memotong tambang perak yang penting bagi upaya perang Athena, secara signifikan melemahkan bekas kotanya.
Strategi ini menunjukkan pemahaman mendalamnya mengenai landasan ekonomi kekuatan Athena dan kerentanannya.
Selain itu, perannya dalam mengamankan aliansi Sparta dengan Persia semakin memperumit perang Athena.
Masa Alcibiades di Sparta bukannya tanpa komplikasi. Keterlibatannya dalam skandal perselingkuhan dengan Timaea, istri Raja Agis II, dan meningkatnya ketidakpercayaan di kalangan Spartan menimbulkan ancaman baru bagi hidupnya.
Kecerobohan pribadi ini tidak hanya membawanya ke dalam konflik dengan raja Sparta tetapi juga semakin mencoreng reputasinya, sehingga berkontribusi pada keputusannya untuk mencari aliansi baru.
Hal ini membawanya ke Tissaphernes, seorang satrap Persia, sekitar tahun 412 SM. Pembelotannya ke Sparta, dan kemudian ke Persia, dipandang oleh banyak orang di Athena sebagai pengkhianatan terakhir.
Tindakan berpindah pihak di tengah Perang Peloponnesia ini mengejutkan orang Yunani, yang menghargai kesetiaan terhadap negara kotanya.
Namun, Alcibiades memainkan permainan yang rumit, seolah-olah membantu kepentingan Spartan sekaligus menegosiasikan kembalinya dia ke Athena.
Kembalinya Alcibiades Mengejutkan ke Athena
Kembalinya ke Athena terjadi pada tahun 407 SM, dalam suatu pembalikan nasib yang dramatis. Dengan memburuknya situasi militer Athena, oligarki Athena, yang merebut kekuasaan pada tahun 411 SM, melihat Alcibiades sebagai penyelamat potensial.
Kecakapan dan pengalaman militernya dianggap sangat berharga sehingga menyebabkan dia dipanggil kembali.
Dia diberi komando armada Athena dan meraih beberapa kemenangan. Keberhasilan ini secara singkat menghidupkan kembali harapan Athena dalam perang tersebut. Hal ini memperkuat reputasinya dan memulihkan posisinya dalam masyarakat Athena untuk sementara.
Namun, strategi agresif dan perubahan kesetiaannya juga berkontribusi terhadap ketidakstabilan di Athena. Tindakannya, terutama pembelotannya ke Sparta dan aliansi berikutnya dengan Persia, dipandang oleh banyak orang sebagai pengkhianatan, melemahkan kedudukan dan kepercayaannya di mata banyak orang Athena.
Akibatnya, kekalahan armada Athena di Notium pada tahun 406 SM, meski bukan kesalahannya secara langsung, dimanfaatkan oleh musuh-musuh politiknya.
Dia dicopot dari komando. Hal ini menandai berakhirnya keterlibatan langsungnya dalam perang, yang akhirnya berakhir dengan kekalahan Athena pada tahun 404 SM.
Pengasingan Terakhir dan Pembunuhan Alcibiades
Reaksi politik yang diakibatkannya memaksa Alcibiades ke pengasingan terakhirnya. Dia mengasingkan diri ke sebuah benteng di Thracian Chersonese, tempat dia menghabiskan tahun-tahun terakhirnya, terputus dari dunia politik yang telah menjadi panggung karier dramatisnya.
Kematiannya pada tahun 404 SM menjadi subjek dari berbagai catatan, namun versi yang paling umum diterima adalah bahwa ia dibunuh oleh agen gubernur Persia Pharnabazus, mungkin atas perintah Sparta atau bahkan Athena yang melihatnya sebagai seorang ancaman lanjutan.
Rumah Alcibiades dilaporkan dibakar. Setelah kematiannya, dia sering dikenang karena pengkhianatan dan kontroversinya.
Namun seiring berjalannya waktu, perspektif sejarah mulai mengapresiasi aspek kehidupannya yang lebih luas.
Kejeniusan militer, kecerdasan politik, dan kepribadian karismatiknya telah diakui memberikan kontribusi signifikan terhadap jalannya Perang Peloponnesia dan politik pada masa itu dalam sejarah Yunani kuno.
Kemampuannya untuk menavigasi lanskap politik berbahaya di Athena, Sparta, dan Persia, yang sering kali mengubah situasi putus asa menjadi keuntungannya, telah menjadi daya tarik tersendiri.
Kehidupannya sering dilihat sebagai cerminan kekuatan dan kelemahan demokrasi Athena itu sendiri–yang mampu mencapai prestasi besar namun juga rentan terhadap keinginan opini publik dan ambisi individu.
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR