"Trus. Udah nih kaga nyala?"
"Pake air minum, Bang,"
"Fakkk + (emoticon lol)."
Hari itu I Wayan Warke, Kepala Desa Taro sekaligus pemilik Nang Taro Homestay, menjelaskan kepada kami bahwa saklar otomatis (on-off) mesin airnya rusak. Dia berjanji akan menggantinya pada hari itu juga.
Para peserta lain famtrip menginap di beberapa homestay yang berbeda. Cerita kehabisan air atau air mati tidak kami dapatkan dari para peserta lain tersebut.
Desa Taro memiliki lebih dari 20 kamar homestay yang tersebar di beberapa titik. Kini, penduduk desa sedang membangun puluhan kamar lainnya, menargetkan mereka akan memiliki total 50 kamar homestay pada akhir tahun 2024 ini. Harga sewa kamar homestay di Desa Taro berkisar Rp250.000 hingga Rp350.000 per kamar per malam, bisa diisi dua orang, dan sudah termasuk jatah sarapan (breakfast).
Kamis pagi hari. Destinasi pertama saya, Aga, dan Ramon, tetapi kesekian bagi para peserta lain dalam rombongan famtrip ini adalah Sungai Yeh Pikat. Yeh Pikat berasal dari kata “Yeh” yang artinya air, dan “Pikat” yang artinya menarik. Sungai Yeh Pikat merupakan pertemuan antara dua aliran sungai yang biasa disebut campuhan.
Yeh Pikat tersebut adalah mata air di desa Taro yang memberi banyak manfaat bagi masyarakat Desa Taro. Baik untuk kegiatan keagamaan maupun kegiatan keperluan sehari-hari lainnya. Sumber mata air Yeh Pikat sering digunakan sebagai tempat upacara pembersihan pikiran dan jiwa secara spiritual oleh masyarakat Bali yang disebut melukat, yakni dengan menggunakan air sebagai sarana upacara tersebut.
Pagi itu kami melakukan trekking menyusuri Sungai Yeh Pikat yang berujung ke Air Terjun Yeh Pikat. Ini adalah air terjun kecil. Tidak sebesar Air Terjun Trummelbach di Lauterbrunnen yang pernah saya lihat. Meski kecil, Air Terjun Yeh Pikat sangat berfaedah karena menjelma menjadi salah satu sumber kehidupan bagi warga Desa Taro.
Meski tidak terlalu berat, rute menuju Air Terjun Yeh Pikat cukup menantang. Kami harus menuruni tebing dengan tangga-tangga batu yang curam. Lalu meniti jalan di atas jalinan batang-batang bambu di tepi sungai. Bambu-bambu itu berderak setiap kali diinjak.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR